Eksplorasi.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera memeriksa secara intensif direktur utama (dirut) PT Pertamina (Persero) saat ini, Nicke Widyawati, soal kaitannya dengan kasus PLTU Riau 1.
Saat ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus korupsi tersebut, yakni Eni Maulani Saragih (wakil ketua Komisi VII DPR), Johanes Budisutrisno Kotjo (pemilik Blackgold Natural Insurance Limited), dan Idrus Marham (mantan menteri Sosial).
Direktur Eksekutif 98 Institute Sayed Junaidi Rizaldi mengatakan, KPK sudah memeriksa sejumlah saksi dalam kasus dugaan suap ini.
Sebut saja Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir, serta Dirut PT Pembangkitan Jawa-Bali Investasi Gunawan Y Hariyanto, Dirut PT Pembangunan Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara, dan Dirut PT Samantaka Batubara Rudi Herlambang.
“Namun Nicke Widyawati belum pernah diperiksa sama sekali. Padahal saat Blackgold belum ditetapkan sebagai mitra PLN di PLTU Riau 1, Nicke menjabat sebagai direktur Pengadaan Strategis 1 PLN,” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Jumat (31/8).
Selain Nicke, lanjut dia, pihak lain yang juga mesti diperiksa KPK adalah Supangkat Iwan Santoso yang kala itu duduk sebagai direktur Pengadaan Strategis 2 PLN.
“Nicke dan Iwan pasti mengetahui kasus itu. Pemeriksaan secara intensif terhadap orang di posisi strategis PLN yang saat peristiwa kongkalikong terjadi sangat penting untuk membongkar kasus tersebut sampai ke akar-akarnya,” tegas pria yang pernah menjadi ketua panitia Rembuk Nasional Aktivis 98, ini.
Menurut Sayed, pemeriksaan harus dimulai sebelum Blackgold Natural Resources memeroleh Letter of Intent (LoI) dari PLN.
“KPK mesti menelisik ke belakang kenapa Blackgold Natural Resources bisa memeroleh LoI dari PLN,” ujar dia.
Penjelasan Sayed, sangat aneh PLN menetapkan Blackgold yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Johanes B Kotjo sebagai mitra PLN.
Pasalnya, Johanes B Kotjo pada 2001 oleh pihak kejaksaan pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan mark up pengambilalihan dan penyelesaian utang (restrukturisasi) Kanindotex Grup.
“Johanes B Kotjo saat itu dinilai tidak melaksanakan syarat resrukturisasi. Anehnya, pihak PLN seakan membiarkan eks tersangka mark up ikut kembali menjadi mitra PLN di PLTU Riau 1,” katanya.
Sayed mengungkapkan, pihaknya memeroleh informasi bahwa ada rumor PLTU Riau 1 bisa jalan dengan ‘mengorbankan’ PLTU Sumatera Selatan (Sumsel) 6.
“Ada semacam peralihan prioritas pembangunan. Sebelumnya, PLTU Sumsel 6 sudah terbentuk konsorsium bahkan sudah meneken perjanjian inti (Heads of Agreement/HoA) namun tiba-tiba dibatalkan,” ungkap dia.
Komentar Sayed, pengembang PLTU Sumsel 6 kemudian kecewa. Akibat pembatalan itu akhirnya ‘memakan korban’, yakni dirut PT PJB, anak usaha PLN, saat itu dipecat oleh dirut PLN.
“Setahun kemudian, dirut PLN Batubara bersama mitra bisnisnya, pemilik tambang, ditahan Kejati Jakarta karena rencana pasokan batubaranya jadi berantakan, dia dituduh merugikan negara,” jelasnya.
Keterangan Sayed, peristiwa tersebut terjadi pada medio Juni 2016. PLTU Sumsel 6 kini menjadi mangkrak rencana pembangunannya.
“KPK juga mesti menyita CCTV yang ada di BRI Longue, tempat berkumpulnya para nasabah prioritas BRI. Alasannya, karena ada rumor yang menyatakan bahwa Sofyan Basir, Nicke Widyawati dan lainnya pernah membahas soal PLTU Riau 1 di sana,” ujar sumber.
Sekedar informasi, semula PLTU Sumsel 6 akan dibangun oleh konsorsium yang terdiri atas DH Energy, Bumi Resources, dan Posco Energy.
PLTU Sumsel 6 memeroleh Power Purchase Agreement (PPA) dan LoI pada 23 Desember 2011. Kemudian proyek itu dihentikan dengan tanggal pemutusan pada 11 Desember 2012.
Pemutusan atau pembatalan LoI saat itu konon karena konsorsium tidak bisa membentuk Special Purpose Company (SPC)
Belakangan, pembangunan PLTU Sumsel 6 akan dilanjutkan. Sejumlah perusahaan pernah menyatakan minatnya, seperti PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Golden Eagle Energy Tbk, PT MNC Kapital Indonesia Tbk melalui anak usahanya, PT MNC Energi, dan sejumlah perusahaan lainnya.
Berdasarkan penelusuran 98 Institute, PLTU Sumsel 6 memiliki kapasitas 2×300 MW dan akan dibangun di Tanjung Enim.
Saat ini, rencana pembangunan PLTU Sumsel 6 masih dalam tahap pengkajian di PLN, dan masih di RUPTL.
Proyek PLTU Sumsel 6 memiliki dua rencana pengembangan, yakni ekspansi dari PLTU yang sudah ada dan pembangunan pembangkit baru.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018—2027, PLTU Sumsel 6 menjadi salah satu proyek pembangkit swasta strategis karena akan memenuhi kebutuhan sistem Sumatera dan sekaligus menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
PLTU Sumsel 6 ditargetkan beroperasi komersial pada 2024, sedangkan PLTU Sumsel 6B ditargetkan beropersi komersial pada 2026.
Reporter: HYN