Eksplorasi.id – Kegiatan eksplorasi minyak di Indonesia masuk kategori risiko tinggi (high risk). Tingginya risiko tersebut namun belum tentu menyebabkan biaya yang tinggi (high cost) pula.
Pendapat tersebut dilontarkan oleh anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (21/11). Menurut dia, ada sejumlah langkah yang dapat membuat biaya eksplorasi menjadi lebih efisien.
“Eksplorasi memang high risk, tapi belum tentu high cost. Kegiatan eksplorasi itu ada tahapan, salah satunya mengumpulkan dan mengevaluasi data,” kata dia.
Andang menambahkan, kegiatan mengumpulkan dan mengevaluasi data hanya membutuhkan lima persen dari total biaya. Sedangkan sisa 95 persen merupakan kerja otak.
Penjelasan Andang, kegiatan eksplorasi minyak idealnya dimulai dengan survei seismik. “Kalau sudah ada data seismik, tidak banyak pengeboran untuk menemukan minyak. Sebab, lokasi cadangan minyak sudah dapat diperkirakan dengan lebih tepat,” jelas dia.
Menurut dia, biaya untuk survei seismik hanya lima persen dari total biaya eksplorasi, namun sangat menentukan keberhasilan. Jika eksplorasi dilakukan tanpa data seismik yang memadai, imbuh dia, risiko kegagalan dan biaya yang dihabiskan akan menjadi jauh lebih besar.
“Eksplorasi itu dimulai dari lima persen yang tidak dilakukan oleh negara. Saat offshore sebagian besar tidak ada data seismiknya. Kelemahan dalam survei seismik ini membuat eksplorasi minyak di Indonesia sering menemui kegagalan,” ujar dia.
Andang berpendapat, survei seismik bisa dilakukan oleh negara dengan dana dari APBN. Namun, bila negara tidak ingin mengeluarkan uang, maka perlu dibuat kebijakan yang mendorong swasta melakukan survei seismik.
“Bisa saja data seismik dijadikan sebagai bisnis, swasta boleh memperjualbelikan data seismik di Indonesia kepada perusahaan migas. Setelah tujuh tahun, data seismik itu menjadi milik pemerintah Indonesia dan dibuka untuk mengundang investor melakukan eksplorasi,” katanya.
Andang berkomentar, Indonesia sebenarnya masih memiliki banyak cadangan minyak. Ada sekitar 40 cekungan yang belum dieksplorasi, di mana cekungan tersebut perlu dilakukan survei seismik terlebih dahulu.
“Apakah kita masih punya minyak? Minyak kita yang 3,4 miliar barel itu yang berstatus P1 (cadangan terbukti). Ada 19,6 miliar barel potensi yang bisa diambil dengan EOR, baru berhasil di Duri. Masih ada 33,7 miliar barel unrecoverable resources,” ujarnya.
Sekedar informasi, saat ini cadangan minyak Indonesia yang terbukti (proven reserve/P1) tinggal tersisa 3,4 miliar barel. Tanpa adanya penemuan cadangan baru, produksi minyak Indonesia akan segera habis dalam waktu sekitar 15 tahun.
Reporter : Samsul