Eksplorasi.id – Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Energi dengan tujuan tercapainya kedaulatan energi nasional.
Ketua Departemen Ristek, Energi, dan Sumber Daya Mineral Majelis Nasional KAHMI Lukman Malanuang dalam rilisnya yang diterima di Jakarta, Kamis mengatakan, Tim merupakan sumbangsih KAHMI untuk memberikan masukan yang bermanfaat kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
“Tim akan bekerja optimal agar kedaulatan energi dapat tercapai sesuai amanat Pasal 33 UUD 45,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan mengurangi energi fosil dan meningkatkan energi baru terbarukan (EBT).
Porsi bauran energi energi pada 2025 yang ditargetkan sebesar 23 persen untuk EBT, minyak bumi 25 persen, batubara 30 persen, dan gas bumi 22 persen memerlukan upaya optimal.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk Menteri ESDM Sudirman Said, lanjutnya, memang sudah berhasil dengan pembubaran Petral dan berganti Integrated Suppy Chain (ISC) PT Pertamina.
“Namun, kami berpandangan langkah tersebut belum optimal menuju kedaulatan energi,” katanya.
Saat ini, KAHMI melihat masih terjadi perilaku pemburu rente (rent seeker behavior), penumpang gelap (free rider), dan pihak yang diuntungkan (rent seizing) dalam pembuatan regulasi.
Lukman juga menambahkan, gagasan perusahaan induk (holding) yang akan dibentuk pemerintah dalam waktu dekat, mestinya tidak sebatas penggabungan PT PGN Tbk dan PT Pertamina (Persero).
Perusahaan baru yang dibentuk pasca-“holding”, menurut dia, setidaknya membawahi Pertamina yang fokus ke bisnis minyak, PGN fokusi ke gas, PT Bukit Asam untuk batubara, PT PLN fokus ke listrik, PT Geo Dipa untuk panas bumi, dan perusahaan khusus yang fokus pada EBT.
“Dengan demikian, ‘holding’ jangan hanya bertujuan konsolidasi aset, ‘revenue’, dan profit jangka pendek, namun harus diproyeksikan tercapainya target bauran energi pada 2025,” katanya.
Oleh karena itu, KAHMI menilai pembentukan “holding” energi perlu dikaji lagi secara mendalam, komprehensif, tidak terburu-buru, mengedepankan prinsip kehatian-hatian, dan dapat diawasi seluruh pemangku kepentingan.
“Kami juga perpandangan ‘holding’ haruslah mempunyai payung hukum yang kuat dan jelas berupa UU,” kata Lukman.
Eksplorasi | Aditya