Eksplorasi.id – Kebijakan Ditjen Minerba Kementerian ESDM pada awal April lalu mengeluarkan rekomendasi izin ekspor mineral mentah ke sejumlah perusahaan tambang menuai protes.
Pasalnya, tindakan Ditjen Minerba itu diduga melanggar UU No 4/2009 dan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin hasil pengolahan tambang diolah di dalam negeri terlebih dahulu.
Ditjen Minerba pada awal April lalu telah mengeluarkan rekomendasi ekspor bijih nikel dan bijih bauksit kepada PT Antam Tbk (Persero) masing-masing sebanyak 2, 7 juta ton dan 850 ribu ton.
“Belum lagi izin ekspor satu juta ton bijih nikel untuk PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id di Jakarta, belum lama ini.
Sebelumnya, ungkap Yusri, pada awal Juli 2017, Ditjen Minerba juga memberikan rekomendasi ekspor bijih bauksit sebesar 2, 4 juta ton kepada PT Dinamika Sejahtera Mandiri dan 2,3 juta ton bijih nikel kepada PT Ceria Nugraha Indotama hanya berdasarkan ‘rencana akan membangun smelter’ di atas kop surat Ditjen Minerba.
“Rekomendasi itu keluar bukan berdasarkan ‘sedang dan telah membangun smelter’ seperti dipersyaratkan dalam peraturan, tapi baru sebatas rencana. Ini sangat aneh,” jelas dia.
Disinyalir, lanjut dia, kebijakan tersebut diduga ilegal. Yusri mengungkapkan, beredar kabar tidak sedap ada oknum elit parpol di belakang perusahaan tersebut.
“Belakangan rekomendasi ekspor diberikan juga pada PT Trimegah Bangun Persada sebanyak 1,55 juta ton dan PT Gane Permai Sentosa 0,51 juta ton,” ujar dia.
Menurut Yusri, agar tidak timbul persepsi buruk di ruang publik seolah kepala negara terkesan dianggap setuju akan praktek ini, maka perlu segera diambil langkah pencegahan dan penindakan terhadap sejumlah pejabat di Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
Hal aneh lainnya, lanjut dia, adalah Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 13/PMK .010/2017 soal tarif bea keluar bagi bijih mineral ini hanya 10 persen.
“Sementara untuk kulit sapi, kerbau dan kambing dikenakan tarif 25 persen. Padahal Permenkeu yang lama bernomor 153/PMK .011/2014 dikenakan tarif 60 persen apabila pada 2016 smelter tidak dibangun,” jelas dia.
Kesimpulannya, tegas Yusri, hanya negara yang terbelakang dan bodoh yang rajin mengekspor sumber daya alamnya yang belum diolah dan dimurnikan.
“Kebijakan ekspor itu antitesa dari proses industrilisasi mineral logam berharga dan menimbulkan ketidak pastian hukum bagi investor yang telah membangun smelter atas perintah UU Minerba,” tegas dia.
Reporter : HYN