Eksplorasi.id – Kementerian ESDM mengakui bahwa program biodiesel 20 persen atau B20 belum maksimal dalam pelaksanaannya. Hal itu diungkapkan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana di Jakarta, pekan lalu.
Rida mengungkapkan, faktor logistik menjadi salah satu penghambat pelaksanaan B20 belum maksimal. Padahal, dari sisi produksi dan penyimpanan B20 sudah siap.
“Kami mengakui bahwa program B20 belum optimum seperti yang kita harapkan. Tapi kami bisa klaim pelaksanaan getting better. Logistik salah satunya kalau dari sisi produksi sudah cukup,” kata dia.
Dia menambahkan, sementara dari sisi penerimaan relatif siap karena sudah memiliki blending facility dan storage. “Tapi ada beberapa membutuhkan bantuan karena belum punya tangki dan belum punya fasilitas pencampurannya, dan juga belum punya kapal,” ujar dia,
Penjelasan Rida, dalam mengangkut fatty acid methyl ester (FAME) tidak bisa menggunakan sembarang kapal. Dibutuhkan kapal dengan spesifikasi tertentu untuk mendistribusikan bahan baku B20 tersebut.
“Kapalnya ada bersertifikat pula tapi trayeknya tidak membutuhkan kapal bervolume itu. Kapal ada 25 ribu tapi yang kita butuhkan 5.000 kalau dipaksakan tidak efektif,” katanya.
Menurut dia, rencananya titik pengiriman FAME juga akan dikurangi dari 86 menjadi 10. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir potensi masalah dalam penyaluran. “Kami akan mengurangi jumlah tujuan dari 86 menjadi hanya 10 titik,” ucap dia.
Sebanyak 10 titik penyaluran FAME tersebar di enam kilang Pertamina dan empat TBBM. Keenam kilang tersebut antara lain kilang Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim. Sedangkan keempat TBBM tersebut antara lain di Pulau Laut, Tuban, Sambas, dan Medan.
Sekedar informasi, program B20 ini dimulai pada 1 September 2018 dengan harapan bisa menekan impor BBM dan meningkatkan konsumsi kelapa sawit sebagai campuran solar.
Reporter: Sam