Eksplorasi.id – Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Hernanto Soemarno tidak memenuhi panggilan sebagai saksi dalam persidangan mantan Dirut PT Geo Dipa Energy (Persero) Samsudin Warsa.
Samsudin didakwa diduga melakukan penipuan proses tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng sebesar Rp 4,5 triliun.
Jaksa perkara Samsudin Warsa, Novi, mengatakan, semula Ari dijadwalkan akan hadir. “Namun dia sakit, dan memberikan surat tidak bisa memenuhi panggilan menjadi saksi,” kata Novi di sela persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (5/4).
Dia menambahkan, begitu pula saksi ahli pidana, Chaerul Huda, tidak memenuhi panggilan. Hingga akhirnya majelis hakim yang dipimpin oleh Djoko Indiarto menunda persidangan tersebut sampai 12 April 2017 mendatang.
Sekedar informasi, kasus itu bermula saat Geo Dipa menunjuk PT Bumigas Energi sebagai pemenang tender untuk pengelolaan PLTPB Patuha-Dieng dengan Surat Nomor 159/Presdir.GDE/IX/2014 tanggal 26 November 2004.
Kemudian, pada 1 Februari 2005, kontrak KTR.001/GDE/II/2005 diteken oleh PT GDE dan PT BGE yang menyatakan, perusahaan tersebut memiliki Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Sesuai Undang-Undang Panas Bumi No 27/2003 pada 22 Oktober 2003 menyatakan WKP/IUP wajib atau mutlak dimiliki oleh pengembang/pengelola untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Namun seusai kontrak tersebut, pihak BGE melalui suratnya berulangkali meminta GDE copy dari WKP/IUP atau izin konsesi. “Namun GDE berulangkali menyatakan WKP/IUP masih dalam proses,” kata kuasa hukum PT BGE Kreshna Guntarto.
Pertamina merupakan pemegang saham mayoritas PT GDE serta pemegang WKP/IUP Dieng Patuha, akan tetapi yang meneken kontrak KTR.001/GDE/II/2005 adalah GDE dan BGE.
Guna mengatasi masalah WKP dan IUP (concession right/ izin konsesi), GDE wajib atau seharusnya melakukan KOB (Kontrak Operasi Bersama) dengan Pertamina sebagai pemegang WKP dan IUP tersebut.
“Sehingga dapat memenuhi kewajiban-kewajiban GDE yang disebutkan dalam kontrak KTR.001/GDE/II/2005. Ini disebabkan karena perbedaan legal entity korporasi, akan tetapi tidak dilakukan GDE. Malah GDE mengeluarkan surat peringatan pada BGE bahwa BGE tidak performed,” jelas dia.
PT CNT sebagai funder (penyandang dana) dari BGE telah menanyakan pada pihak penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, pada 2006 untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Tujuannya, guna implementasi pembangunan PLTP Dieng dan Patuha tanpa WKP dan IUP. Namun jawaban kedua instansi tersebut tidak diperbolehkan.
Pada persidangan di PN Jaksel, terdakwa Samsudin Warsa dan pengacaranya serta beberapa saksi GDE yang dihadirkan selalu menyampaikan Surat Menkeu No. S-436/MK.02/2001 tgl 4 September 2001 sebagai izin Pengolahan Panas Bumi.
“Ini adalah kesalahan persepsi dan fatal karena surat itu hanya merupakan surat penugasan untuk mengelola aset HCE dan PPL yang ditinggalkan, sedangkan izin WKP/IUP adalah wewenang Kementerian ESDM,” jelas Kreshna.
Perlu diketahui, KepMen ESDM No. 2789K/30/MEM/2012 tanggal 19 September 2012 tentang Penegasan WKP Sumber Daya Panas Bumi untuk Wilayah Dieng dan KepMen ESDM No. 2192K/30/MEM/2014 tanggal 27 Maret 2014 tentang Penegasan Pengusahaan Wilayah Patuha kepada GDE juga patut dipertanyakan.
Alasannya, karena WKP Dieng dan Patuha pada 2012 serta 2014 masih menjadi milik Pertamina, dan Pertamina belum pernah mengembalikan kepada pemerintah. Masa Berlaku tidak dicantumkan dalam KepMen tersebut.
“KepMen tersebut berlaku surut ke 1 Januari 2007, di mana ini menyalahi hukum ketatanegaraan. GDE tidak patuh terhadap UU Panas Bumi Nomor 27/2003 tanggal 22 Oktober 2003,” tegas dia.
Kreshna menambahkan, pasal 35 UU Panas Bumi No. 27/2003 menyebut bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan panas bumi tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar.
“Bagaimana mungkin BGE dan CNT sebagai investor, kontraktor untuk membangun proyek PLTP Dieng Patuha apabila GDE tidak biisa membuktikan memiliki concession right sesuai pasal-pasal kontrak KTR.001/GDE/II/2005, karena ini melawan hukum UU Panasbumi 27/2003 dan BGE bisa disebut melakukan illegal developer,” katanya.
Antara