Eksplorasi.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta menyelidiki adanya dugaan mark up dalam proyek pembangunan kilang terpadu yang digarap oleh PT Donggi Senoro LNG (DSLNG).
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, pada 2009, DSLNG sanggup membangun kilang gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) hanya dengan nilai investasi maksimal USD 1,4 miliar.
“Anehnya, pada 2015, pihak manajemen DSLNG kemudian mengumumkan bahwa proyek tesebut menghabiskan dana hingga USD 2,8 miliar atau kalau dengan kurs Rp 13.000 saja sudah mencapai Rp 36,4 triliun. Berarti terjadi pembengkakan hingga 100 persen atau USD 1,4 miliar. Ini tidak logis,” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Jumat (3/3).
Menurut Yusri, penyelidikan perlu dilakukan karena di proyek tersebut ada saham milik BUMN, yaitu PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, yakni PT Pertamina Hulu Energi yang memiliki 29 persen saham di DSLNG.
Di satu sisi, lanjut Yusri, sebelum menjadi konsorsium DSLNG, pihak PT Medco Energi Internasional Tbk, Pertamina, Mitsubishi Corporation, dan PT Medco E&P Tomori Sulawesi pernah berperkara dengan PT LNG Energi Utama (LEU).
LEU merupakan perusahaan patungan LNG International Pty Ltd (Australia) dan PT Maleo Energi Utama. Perkara tersebut kemudian berujung pada sidang di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
“LEU dikalahkan oleh Mitsubishi Corporation dalam tender proyek kilang tersebut untuk menjadi mitra dari Medco dan Pertamina,” jelas dia.
Sekedar mengingatkan, kata Yusri, sebelum Mitsubishi memenangkan tender, awalnya PT Medco E&P Indonesia dan Pertamina menunjuk konsultan independen Pricewaterhouse Coopers (PwC) untuk mencari mitra usaha dalam proyek tersebut.
“Dalam proses tender ada 10 perusahaan yang berminat. Mereka di antaranya Mitsui, Marubeni, Toyota, Mitsubishi, dan LNG Japan. Selain itu, PwC mengundang LNG International Pty Ltd dari Australia untuk ikut dalam tender ini. Namun, yang memasukkan proposal mengikuti beauty contest hanya delapan perusahaan, termasuk LNG International,” jelas dia.
Pada Oktober 2007, imbuh Yusri, kemudian PwC mengumumkan pemenang tender, yaitu Mitsubishi. Padahal, sebelum Mitsubishi dinyatakan sebagai pemenang, Medco dan Pertamina telah menjalin kesepakatan tertutup (exclusivity agreement) pada Mei 2005 dengan LEU.
Berdasarkan kesepakatan itu, joint operation body (JOB) Pertamina-Medco akan memasok gas dari Lapangan Senoro. Sementara itu, LEU akan membangun kilang pengolahan LNG. LEU bahkan telah memeroleh persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk investasi di Indonesia.
“Dalam tender awal, Mitsubishi menawarkan nilai investasi di kisaran USD 600 juta hingga USD 800 juta dengan kapasitas kilang 2 MMTPA dan harga LNG FOB USD 5,7 hingga USD 7,8 per MMBtu pada harga minyak Japan Crude Cocktail (JCC) USD 50,” ujar dia.
Sementara, LEU menawarkan investasi pembangunan kilang di level USD 604 juta dengan kapasitas 1.8 MMTPA dan dengan harga LNG FOB USD 6 hingga USD 8 per MMBtu.
Pesaing lainnya, yakni Mitsui & Co Ltd, menawarkan nilai investasi USD 400 juta hingga USD 800 juta dengan kapasitas 2 MMTPA dan harga LNG FOB pada USD 6,5 hingga USD 8,5 per MMBtu dengan harga minyak JCC USD 50.
Sekedar informasi, Kilang DSLNG berlokasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sekitar 45 kilometer arah Tenggara dari Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai.
Kilang ini berada di pesisir pantai menghadap Selat Peling yang merupakan rute laut dalam dari Surabaya dan Makassar menuju Luwuk dan Manado. Kilang tersebut berdiri di atas lahan seluas lebih dari 300 hektare.
Kilang DSLNG terdiri atas satu unit kilang pengolahan tunggal serta fasilitas pendukung utilitas, dermaga untuk peralatan dan perbekalan, satu unit tanki penyimpan LNG dan satu unit tanki kondensat,dermaga untuk memuat LNG serta fasilitas pendukung administrasi.
Kilang dengan kapasitas produksi sebesar dua juta ton LNG per tahun tersebut menggunakan teknologi Air Products and Chemicals Inc. Konstruksi pembangunan kilang dimulai pada 2011.
DSLNG didirikan sebagai perusahaan penanaman modal asing (PMA) pada 28 Desember 2007, dengan para pemegang saham Pertamina Energy Services Pte Ltd (29 persen), PT Medco LNG Indonesia (20 persen) dan Mitsubishi Corporation (51 persen).
Namun, terhitung Februari 2011, struktur kepemilikan berubah menjadi PT Pertamina Hulu Energi (29 persen), PT Medco LNG Indonesia (11,1 persen) dan Sulawesi LNG Development Ltd (59,9 persen).
Bisnis DSLNG adalah membeli dan mengubah gas alam menjadi gas alam cair dan memasoknya kepada pembeli. DSLNG telah meneken perjanjian jual beli gas (gas sales agreement/ GSA) dengan para produsen gas alam.
Produsen gas alam tersebut diantaranya, PT Pertamina Hulu Energi Tomori Sulawesi, PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan Tomori E&P Ltd melalui Joint Operating Body (JOB) Pertamina –Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB PMTS) dan PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) melalui Proyek Pengembangan Gas Matindok (MGDP).
Berdasarkan perjanjian tersebut, DSLNG akan menerima pasokan gas alam dari Blok Senoro Toili yang dikelola oleh JOB PMTS sejumlah 250 juta kaki kubik per hari dan dari Blok Matindok yang dikelola MGDP sejumlah 85 juta kaki kubik per hari.
Berkapasitas produksi sebesar dua juta ton per tahun, Kilang DSLNG mampu mengirimkan sekitar 36 kargo LNG per tahun.
DSLNG telah meneken komitmen pengiriman LNG jangka panjang dengan tiga pembeli yaitu Chubu Electric, Kyushu Electric dan Korea Gas Corporation. Bila para pembeli jangka panjang ini tidak mengambil kargo tersebut, maka kargo LNG ini dapat tersedia di pasar spot LNG.
Reporter : HYN