Eksplorasi.id.Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas dampak kegiatan pertambangan tahun 2013 mengungkapkan, kerugian yang dialami akibat pertambangan di sejumlah daerah mencapai ribuan triliun. Khusus Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, nilai kerugiannya mencapai Rp581,43 triliun.
Angka-angka tersebut didapat setelah KLHK melakukan kajian valuasi ekonomi atas aktivitas pertambangan di sembilan kabupaten di seluruh Indonesia. Kajian tersebut mengungkapkan, alam Indonesia akan lebih bernilai jika tidak dilakukan eksploitasi tambang, kecuali jika dilakukan sejalan dengan pelestarian lingkungan.
Dokumen yang diperoleh CNNIndonesia.com menyebutkan, net present value (NPV)natural capital di Kukar lebih besar yaitu Rp990,19 triliun dibanding NPV operasional yang hanya Rp408,75 triliun. Hal itu berarti, ada selisih minus ratusan triliun di Kukar yang dianggap sebagai kerugian besar bagi lingkungan, kesehatan masyarakat sekitar, serta kerusakan sosial dan ekonomi.
Ketua Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Sektor Mineral dan Batubara KPK Dian Patria mengatakan, angka itu menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara eksploitasi dengan upaya menghijaukan kembali lahan pascatambang.
Valuasi ekonomi itu sejalan dengan temuan KPK selama Koordinasi Supervisi (Korsup) atas Pengelolaan Pertambangan Minerba berlangsung sejak 2014. Dalam persoalan pajak yang ditemukan KPK misalnya.
KPK menemukan, ada 3.826 IUP batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Dari jumlah korporasi itu, sebanyak lebih dari 23 persen atau 724 perusahaan tidak terdeteksi nomor pokok wajib pajaknya (NPWP).
Sementara dalam valuasi ekonomi tersebut, salah satu dari 14 parameter yang diukur adalah pajak perusahaan. Kajian valuasi ekonomi yang dilakukan KLHK tersebut mendorong KPK untuk menggagas upaya beyond corruption untuk sektor pertambangan.
“Ini penting untuk berbicara pencegahan menjadi lebih luas karena dampak sosial dari pertambangan memang tidak bisa dituntaskan dari satu sisi saja,” ujar Dian dalam diskusi di Kantor KPK, Jakarta, akhir Agustus lalu.
Parameter lainnya adalah tingkat pajak properti masyarakat, pengembangan ekonomi lokal, biaya kesehatan, biaya penanggulangan penurunan produktivitas pertanian, biaya penanggulangan pencemaran, biaya revegetasi, dan pemeliharaan prasarana umum.
Selain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dian menyebut ada empat kementerian lain yang harus ikut ambil bagian dalam upaya merealisasikan upaya “beyond corruption” dimaksud.
Yaitu KLHK yang bertanggung jawab terhadap isu lingkungan; Kementerian Keuangan dari sisi pajak, penerimaan negara bukan pajak, serta bea cukai; serta Kementerian Sosial.
“Kalau dalam aktivitas pertambangan itu ternyata memiskinkan masyarakat, Kemsos jangan diam saja. Kalau ternyata tambang itu membuat konflik sosial, Kemsos harus masuk untuk ikut memberi pertimbangan. Jangan sampai masyarakat sekitar dirugikan,” ujar Dian.
KPK meminta keempat kementerian tersebut melupakan ego sektoral yang selama ini terjadi. Dia mencontohkan, dari sekitar 10.172 izin pertambangan yang ada di seluruh Indonesia, 3.772 di antaranya berstatus non clean and clear (CnC).
Status tersebut baru melewati penilaian dari satu kementerian yaitu ESDM. Sehingga jika tiga kementerian lainnya ikut dalam penilaian perusahaan pertambangan, KPK yakin jumlah IUP yang dipangkas bisa lebih banyak lagi.
“Kalau perlu hanya ada 1.000 izin saja tetapi semua memenuhi syarat teknis pertambangan, daya dukung lingkungan, menjalani kewajiban keuangan, serta memastikan tidak terjadi dampak sosial yang negatif bagi masyarakat di sekitar tambang,” katanya.
Sementara itu, Direktur Teknik Lingkungan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Muhammad Hendrasto berkomentar soal valuasi ekonomi pertambangan yang dibuat KLHK. Menurut Hendrasto, valuasi tersebut hanya menghitung dampak negatif dari aktivitas pertambangan.
Padahal dampak positif seperti pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) perusahaan, kegiatan reklamasi, dan pengelolaan lingkungan belum menjadi faktor plus dari perhitungan valuasi.
“Valuasi itu memang sudah dipresentasikan setiap kali Korsup (Koordinasi Supervisi Minerba). Tapi kami mempertanyaan dasar perhitungannya, kami anggap itu belum tuntas,” ujar Hendrasto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/9).
Ketika valuasi KLHK dipertanyaan, lanjut Hendrasto, kementerian yang dipimpin oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar itu mengaku akan mengkaji kembali. “Kami sudah diskusi panjang dengan KLHK karena PP terkait ekonomi lingkungan juga baru sampai pada kajian ilmiah, belum bisa dijadikan ketetapan,” katanya.
Valuasi ekonomi yang dilakukan KLHK mengembangkan lima kriteria dan indikator yaitu aspek ketaatan pada regulasi, aspek lingkungan fisik kimia, aspek lingkungan hayati, aspek sosial dan ekonomi, serta aspek kesehatan lingkungan.
Kajian dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu tata kelola pertambangan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, serta pendekatan dampak sosial-ekonomi. Selain batubara di Kukar, komoditas lain yang dikaji yaitu timah, emas, dan nikel.
Dalam valuasi itu, KLHK melakukan invetarisasi administrasi pertambangan dan dokumen lingkungan, kualitas air, tanah, udara, dan biodiversitas, pengelolaan limbah, reklamasi dan penutupan tambang, serta ekonomi-sosial; identifikasi perubahan kualitas lingkungan; verifikasi pengujian laboratorium dan kelengkapan data.
KLHK juga melakukan evaluasi ekonomi lingkungan yang meliputi analisis penemaran dan kerusakan lingkungan, valuasi ekonomi, analisis biaya manfaat, dan analisis kebijakan.
Delapan kabupaten lainnya yang dikaji KLHK yaitu Kutai Timur, Bangka Barat, Belitung Timur, Bogor, Konawe Utara, Morowali, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut. Kota Bogor menjadi satu-satunya daerah dengan nilai manfaat tambang yang positif sebesar Rp4,9 triliun lewat komoditas emas.
Tujuh daerah lainnya minus yaitu Kutai Timur Rp4.869 triliun (batubara); Konawe Utara Rp4.208 triliun (nikel); Tanah Laut Rp545 triliun (batubara); Tanah Bumbu Rp506 triliun (batubara); Bangka Barat Rp336 triliun (timah); Morowali Rp245 triliun (nikel); dan Belitung Timur Rp61 triliun (timah).