Eksplorasi.id – Chevron Indonesia Co, operator proyek pengembangan laut ultradalam (Indonesian Deepwater Development/IDD) di Selat Makassar belum lama ini mengajukan permohonan untuk menggunakan fasilitas produksi milik ENI Indonesia di proyek Jangkrik, Muara Bakau.
Pasalnya, lokasi IDD sangat berdekatan dengan fasilitas produksi di Muara Bakau. Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja pernah berkomentar, pengembangan Lapangan Gendalo dan Gehem bisa lebih cepat dengan menggunakan fasilitas dari Eni.
Bahkan, Chevron Indonesia tidak perlu lagi membangun fasilitas produksi terapung (floating production unit/FPU). Kemudian, kapasitas produksi dari FPU Jangkrik yang kini sudah rampung bisa meningkat karena ada penambahan gas dari proyek IDD.
Sekedar informasi, kapasitas produksi FPU Jangkrik sebesar 450 MMscfd. Produksinya diharapkan bisa meningkat hingga 800 MMscfd. Sementara, dilansir dari data resmi SKK Migas, proyek IDD merupakan proyek pengembangan empat wilayah kerja (WK) yang terletak di Selat Makassar, yaitu WK Ganal, WK Rapak, WK Makassar Strait, dan WK Muara Bakau (unitisasi).
Pada empat WK tersebut terdapat lima lapangan yang akan dikembangkan, yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan Gandang. Direncanakan produksi dari sumur-sumur yang dibor di lima lapangan tersebut akan dialirkan secara terintegrasi melalui dua hub FPU, yaitu Gehem Hub dan Gendalo Hub, serta satu Bangka Subsea Tie-back di West Seno.
Lapangan Bangka sudah mulai mengalirkan gas pada Agustus 2016. Fasilitas ini memiliki kapasitas produksi 115 MMscfd gas dan 4.000 barel kondensat per hari.
Gas dari FPU akan dialirkan menuju kilang LNG Bontang untuk diproses lebih lanjut menjadi LNG. Kapasitas produksi Lapangan Bangka adalah sekitar 115 MMscfd gas dan 4 Mbpd kondensat.
Pengembangan Lapangan Gendalo-Gehem mengalami penundaan yang mengakibatkan proyek IDD menjadi tidak ekonomis dalam konteks skenario Rencana Pengembangan Awal (POD-1 IDD).
Ada tiga alasan kenapa akhirnya proyek IDD menjadi tidak ekonomis. Pertama, pengurangan volume yang dapat diproduksi dalam masa KKS yang ada akibat tertundanya pelaksanaan karena belum selesainya beberapa kesepakatan dengan berbagai pihak terkait.
Kedua, kenaikan biaya investasi akibat perubahan harga pasar. Turunnya harga gas karena lesunya pasar LNG Asia di masa mendatang.
Berdasarkan hal tersebut, Chevron Indonesia lantas mengusulkan revisi POD-1 IDD pada akhir Desember 2015. Ada dua cakupan usulan revisi POD-1 IDD tersebut.
Pertama, adanya tambahan cadangan berupa secondary reservoir dari Lapangan Maha dan Gandang (belum termasuk dalam POD-1 IDD yang telah disetujui sebelumnya).
Kedua, penyesuaian syarat dan ketentuan untuk perpanjangan kontrak WK Makassar Strait, WK Ganal dan WK Rapak mengacu revisi POD-1 IDD.
Mengacu usulan revisi POD-1 IDD, perkiraan produksi pertama (gas onstream) untuk Gendalo Hub adalah kuartal keempat 2022 dan untuk Gehem Hub pada kuartal kedua 2023.
Kapasitas produksi dari Gehem Hub diperkirakan sebesar 420 MMscfd dan 27 ribu bpd kondensat. Sedangkan kapasitas produksi dari Gendalo Hub diharapkan sebesar 700 MMscfd dan 20 ribu bpd kondensat.
Lama Mangkrak
Kementerian ESDM lantas mendesak Chevron untuk segera menggarap proyek IDD. Pasalnya, proyek itu mengalami mangkrak sejak 2012. “Kami menunggu dari Chevron untuk mulai, dari sisi pemerintah sudah menyiapkan agar mereka bisa mulai. Pertanyaannya kalau tidak mulai-mulai bagaimana,” kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Rabu (3 Mei/5).
Menurut Archandra, rencana pengembangan (plan of development/POD) IDD telah disetujui pada 2008. Namun, pihak Chevron melakukan perubahan dengan menambah nilai investasi sebesar USD 12 miliar.
Revisi POD tersebut sampai saat ini belum diajukan ke pemerintah. “Kami sudah siapkan tapi dari mereka belum ada,” ujar Archandra. Dia berkomentar, jangka waktu Chevron melakukan eksplorasi proyek IDD harus mencapai 10 tahun.
Penegasan Archandra, pemerintah akan mengkaji kembali bila Chevron tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut. Adapun pengembangan lapangan IDD akan menambah pasokan sekitar 800 MMscfd. “Eksplorasi itu total 10 tahun, setelah development, itu mereka harus komit. Kalau tidak komit maka harus dilihat pemerintah,” tegas dia.
Sekadar informasi, proyek IDD sudah mengantongi persetujuan POD pada 2008. Tetapi, setelah tahap front end engineering design (FEED) pada 2013, biaya yang dibutuhkan proyek meningkat dari sekitar USD 6,9 miliar menjadi USD 12 miliar.
Pihak Chevron kemudian merasa perlu merevisi POD. Namun, pemerintah selalu memberikan penolakan karena proposal tidak lengkap secara adminstrasi dan Chevron meminta insentif yang tidak ada dalam kontrak, yakni credit investment.
Credit investment atau hak ganti rugi yang diminta Chenron kepada pemerintah dengan persentase yang sangat tinggi, yakni sebesar 240 persen. Padahal, maksimal credit investment yang diminta KKKS itu hanya 100 persen.
Reporter : Sam