Eksplorasi.id – Mantan Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana tidak sepakat dengan usulan Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto, terkait pemberian insentif kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas mengenai besaran bagi hasil (split) dengan komposisi 51:49.
Usulan Djoko tersebut dilontarkan agar tidak terjadi gelombang PHK massal di sektor migas dan menggenjot produksi migas nasional. Gde Pradnyana mengatakan, dampak dari perubahan split baru akan dirasakan 10 hingga 20 tahun yang akan datang.
“Kemudian, apakah betul kita harus terus menggenjot produksi disaat negara lain (sesama net importer) mengurangi produksinya? Faktor terbesar yang menentukan besarnya penerimaan negara bukan pada volume produksi (yang berkaitan dengan split) tetapi pada harga,” kata Gde Pradnyana kepada Eksplorasi.id melalui pesan tertulis yang dikirim via WhatsApp Messenger, Rabu (15/6).
Gde Pradnyana mengungkapkan, menggenjot produksi pada saat harga rendah akan ‘menghabisi’ penerimaan negara, karena jumlah cost recovery tidak turun, harga baja tidak turun, dan sebagainya.
“Jika penerimaan negara yang sudah menurun ini masih dibebani lagi dengan memperbesar split buat kontraktor, artinya penerimaan negara bakal makin mengecil dan bukan tidak mungkin malah jadi nol, karena dipakai mensubsidi penerimaan kontraktor,” ungkap penulis buku Nasionalisme Migas, ini.
Gde Pradnyana pun mempertanyakan soal sikap dari Ditjen Migas Kementerian ESDM yang malah menunggu usulan dari pihak SKK Migas dan KKKS terkait insentif. “Semestinya yang memikirkan soal fiskal hulu, seperti split, DMO, dan sebagainya adalah direktur Hulu Migas dan Ditjen Migas,” jelas mantan Deputi Pengendalian Operasi BP Migas, ini.
Baca juga: http://eksplorasi.id/genjot-produksi-migas-dan-cegah-phk-massal-ini-usul-direktur-hulu-migas/
Menurut Gde Pradnyana, selama ini jumlah cost recovery tidak mengalami banyak perubahan, sementara penerimaan negara terus merosot drastis. “Itu dengan split 85:15. Kalau split dijadikan 51:49 maka habis itu penerimaan negara. Kalau sudah demikian, apa artinya punya produksi kalau pemerintah tidak dapat apa-apa,” ujar dia.
Gde Pradnyana berpendapat, insentif terpenting buat kontraktor bukan soal split, tapi fair price.Dia menambahkan, semestinya yang dilakukan adalah memperpanjang DMO holiday, kemudahan perizinan, kecepatan proses persetujuan, memangkan birokrasi antara SKK Migas dengan Kementerian ESDM (jangan double process), menghapus pajak pada kegiatan eksplorasi, revisi PP No 79 (agar insentif fiskal seperti investment credit dan lainnya) dapat diterapkan lagi.
“Guna menggairahkan industri penunjang, yang berarti juga untuk menggerakan roda perekonomian, maka kaitkan pemberian insentif dengan pembelanjaan cost recovery, misal interest cost recovery hanya diberikan terhadap barang dan jasa produksi dalam negeri, dan sebagainya,” kata dia.
Gde Pradnyana mengingatkan bahwa pada saat ini yang mempertahankan produksinya adalah negara-negara produsen (eksportir) minyak, karena mereka takut kehilangan pasar kalau produksi mereka kurangi. “Sedangkan kita adalah negara importir. Kebijakannya semestinya beda dengan negara eksportir,” terang dia.
Di satu sisi, data dari SKK Migas menunjukkan bahwa investasi kontraktor yang berada pada tahap produksi mencapai USD 15,1 miliar pada 2015 atau turun 22 persen dibandingkan dengan realisasi investasi 2014.
Tren yang sama juga ditemukan pada kontraktor migas yang berada pada tahapan eksplorasi. Nilai investasi mereka pada 2015 hanya sebesar USD 0,52 miliar atau turun 53 persen dibandingkan dengan realisasi investasi 2014.
Rendahnya harga minyak dan lesunya investasi tentu memiliki dampak ke berbagai aspek. Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2016, dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun anjlok dari Rp 42,91 triliun pada 2014 menjadi Rp 14,09 triliun pada 2015.
Selain menggerus penerimaan negara, kondisi ini juga membuat upaya-upaya menemukan cadangan migas baru demi ketahanan energi masa depan terhambat. Penawaran delapan blok migas di akhir 2015 yang dilakukan pemerintah gagal mendapatkan pemenang.
Tidak hanya itu, kegiatan di wilayah kerja eksplorasi yang sudah memiliki kontraktor pun banyak yang tidak berjalan. Selain mengancam ketersediaan energi migas di masa depan, menurunnya kegiatan kontraktor ini juga berdampak pada sektor lain yang selama ini ikut merasakan berkah dari kehadiran industri hulu migas.
Eksplorasi | Heri