Eksplorasi.id – Saat tulisan ini di buat, beredar kabar di grup WhatsApp saya tentang foto undangan dari Istana Negara untuk menghadiri pelantikan menteri ESDM baru untuk menggantikan Plt Luhut Binsar Panjaitan.
Dalam surat undangan yang beredar tersebut tertera waktu pelaksanaanya adalah hari ini, Jumat (14/10) pukul 13.30 WIB. Untuk itu, sangatlah relevan kemudian menantikan dan menagih sejumlah kebijakan baru dari menteri baru.
Misalnya, menyikapi amanat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terkait kewajiban bagi pelaku usaha pertambangan untuk mengolah dan memurnikan bahan tambang di dalam negeri, yang hingga hari ini masih juga menjadi tanda tanya dalam implementasinya.
Wacana relaksasi (pelonggaran) larangan ekspor mineral yang sedang gigih di gulirkan Pemerintahan Jokowi-JK akhir-akhir ini, khususnya ketika Plt menteri ESDM dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan, kembali menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Betapa tidak, batas toleransi yang sejatinya menurut UU No 4/2009 jatuh tempo pada 12 Januari 2014 sejak diundangkan pada 2009, yakni lima tahun.
Gejolak yang ditimbulkan atas amanat UU Minerba ini cukup merepotkan pemerintah, akibat adanya penolakan dari sejumlah besar korporasi tambang yang ingin tetap mengeruk kekayaan sumber-sumber produktif rakyat terus menerus tanpa adanya intervensi negara.
Anehnya, pemerintah justru mengambil jalan kompromi dengan melanjutkan batas toleransi atau dengan kata lain relaksasi larangan ekspor barang minerba selama tiga tahun, yang semestinya terakhir pada 2017.
Saat ini, sudah masuk ke kuartal ke empat 2016, yang artinya tenggat waktu batas toleransi tambahan yang dikeluarkan melalui kebijakan pemerintah waktu itu sudah semakin mendekati injury time.
Ironi, dalam situasi yang diliputi kecemasan para pelaku industri tambang yang malas dan cendrung pongah untuk tidak menjalankan kebijakan tersebut, justru pemerintah melalui Plt menteri ESDM menelurkan ide perpanjangan relaksasi ekspor dengan menawarkan revisi UU Minerba.
Inti dari relaksasi ini sebenarnya akan mengakali bagaimana batas toleransi relaksasi ekspor minerba ditiadakan lagi, yakni kembali ke rezim tambang lama.
Tujuannya, menguras sehabis-habisnya sumber-sumber agrarian produktif kita demi keuntungan sebesar-besarnya korporasi dan di ekspor secara mentah-mentah ke luar negeri demi sebesar-besarnya kemakmuran asing.
Original intent
Original intent, atau maksud sebenarnya dari para pembuat UU Minerba memasukkan klausul mengenai kebijakan pemurnian dan pengolahan barang tambang adalah agar tercipta nilai tambah bagai sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Ini bisa kita lihat dari makalah yang disusun dan disampaikan oleh Dr Sonny Keraf yang disampaikan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dalam kapasitasnya sebagai ahli dalam perkara pengujian UU Minerba yang diajukan oleh para pelaku usaha pertambangan, salah satunya Apemindo pada perkara 10/PUU-XII/2014.
Seperti diketahui, Dr Sonny Keraf adalah ketua Panja Penyusunan RUU Minerba pada saat itu. Beliau menjelaskan demikian, “Visi dasar dari UU Minerba ini adalah mengimplementasikan dan mengkongkritkan visi dasar dan pesan moral-konstitusional UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (3), “Bumi, air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini berarti mineral dan batubara yang diatur dalam UU 4/2009 tentang Minerba ini harus dan demi “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.”
“Terkait dengan visi besar konstitusional tersebut, UU Minerba ini lahir dari latar belakang dan demi menjawab persoalan klasik yang nyata-nyata dialami bangsa ini dari tahun ke tahun dan belum pernah berhasil diatasi sebelumnya, yaitu hilangnya peluang keuntungan ekonomis finansial dari minerba yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi tetap dibiarkan terus terjadi dalam wujud keluarnya keuntungan ekonomis finansial yang mengalir kenegara lain yang sebenarnya bukan pemilik kekayaan alam Indonesia dalam bentuk minerba tadi. Salah satu peluang keuntungan ekonomis finasial yang hilang tersebut terjadinya ekspor mineral dalam keadaan mentah atau belum diolah yang sangat merugikan bangsa dan Negara Indonesia, dan bertentangan dengan amanat moral konstitusional UUD 1945”.
Jadi, menurut hemat penulis, jika kita menelisik lebih jauh apa yang diungkapkan oleh perumus UU Minerba ini, sudah sangat gamblang dan jelas serta terang benderang apa yang sebenarnya dituju melalui kebijakan value added atau nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri atas hasil tambang.
Tujuannya demi memaksimalkan pendapatan negara dari keuntungan ekonomis finansial ekploitasi sumber-sumber agraria strategis negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahkan, sejatinya juga, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Sonny Keraf di dalam keterangannya sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi di atas, juga kebijakan ini sebenarnya dimaksudkan untuk ‘moratorium’ ekploitasi besar-besaran hasil tambang jika para pelaku usaha tambang tersebut tidak mematuhi kebijakan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri tersebut.
Jika konsisten, pemerintah seharusnya menghentikan izin operasional eksploitasi tambang tersebut. Sehingga jika demikian, maka yang terjadi adalah penghentian sementara atau moratorium ekploitasi tambang.
Dan, pada akhirnya dapat meminimalisir kerusakan lingkungan, tersedianya cadangan sumber daya alam yang merupakan kekayaan alam Indonesia demi anak cucu kita kelak.
Karena sejatinya sumber daya alam tambang adalah sumber daya yang tidak terbarukan, sehingga jika terus menerus dikeruk, maka suatu waktu dia akan habis.
Konsinten tidak konsisten?
Persoalannya kemudian adalah, bagaimana konsistensi pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang telah diamanatkan oleh negara ini? Problem ini yang selalu menjadi pertanyaan serta pesimisme publik dalam setiap mendapati problem-problem strategis negara.
Wacana penambahan toleransi relaksasi ekspor minerba bagi semua pelaku usaha tambang yang sudah diutarakan oleh pemerintah, menurut penulis, adalah bagian dari sikap klasik pemerintah yang bisa dibilang konsisten tidak konsisten.
Artinya konsisten dengan sikap yang selama ini ditunjukkan oleh beberapa rezim-rezim terdahulu, yakni tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan yang telah dikeluarkannya sendiri, banyak contoh yang bisa dikemukan saya kira.
Nah, kalau kita menengok kembali kepada keterangan ahli yang diajukan pemerintah di dalam persidangan MK di atas, yakni Dr A Tony Prasetyantono Phd, yang menyatakan demikian, “Kalau kita mengekspor mineral mentah, artinya kita memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan mineral mentah di Indonesia untuk mendapatkan keuntungan berlipat, ini yang disebut Rent-seeking behavior, rent-seeker adalah orang-orang atau pihak-pihak, bisa orang, bisa intitusi bisa kelompok yang memanfaat situasi pasar untuk mendapatkan benefit, manfaat finansial secara mudah.”
“Contoh paling gampang kita lihat adalah ketika Indonesia adalah produsen minyak, pernah jadi anggota OPEC. Tetapi ternyata kilang minyaknya tidak cukup, sehingga kita harus mengirim minyak ke Singapura sehingga menjadi mata rantai (supply chain) menjadi panjang, inilah yang disebut dengan rent-seeking behavior.”
“Jadi artinya orang yang mendapatkan advanteg, benefit dari situasi tersebut. Dan ini terjadi banyak sektor, pertambangan adalah salah satu sektor yang sangat atraktif. Ahli mengambil contoh kasus kayu glondongan, karena mirip dengan kasus mineral saat ini, pada tahun 1985, pemerintah melarang untuk melakukan ekspor kayu glondongan (plywood), di mana pada saat yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Cina atau Tiongkok.”
“Akibatnya tidak ada pasokan kayu glondongan ke Korea, hal ini membuat kurang lebih 100 perusahaan plywood di Korea tutup. Pada tahun 1973, Indonesia hanya memiliki 2 pabrik kayu lapis dan meningkat pada tahun 1980-an menjadi 29 pabrik dan puncaknya pada tahun 1997, Indonesia memiliki 122 pabrik kayu lapis, sehingga catatan di sini bahwa Korea bangkrut namun Indonesia mendapat manfaat.”
“Hal ini mirip dengan kasus minerba saat ini, bahkan untuk kasus minerba ini lebih mendesak untuk melarang, mendorong, mewajibkan pengusaha untuk memprosesnya di dalam negeri, karena berbeda dengan kayu lapis yang dapat diperbaharui, minerba tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu jika kayu gelondongan saja kita larang untuk diekspor dan memberikan positif, apalagi tambang yang mempunyai derajat yang lebih tinggi lagi.”
Artinya, sudah terang, siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan makin lamanya rezim pengerukan tambang mentah tanpa diolah kemudian diekspor keluar negeri ini, tidak lain adalah para korporasi besar yang selama puluhan tahun telah mendapatkan advanteg, benefit finansial dari situasi tersebut.
Sehingga sangat wajar kemudian, ketika Plt menteri ESDM menyatakan bahwa kebijakan relaksasi ekspor bukan dimaksudkan untuk Freeport dan Newmont, tetapi untuk kepentingan nasional kita katanya, akan tetapi menurut teori Rent-Seeking Behavior di atas, jelas siapa sebenarnya yang diuntungkan.
Oleh karenanya, kebijakan atau wacana pemberian toleransi bagi relaksasi ekspor tambang yang sedang di gulirkan oleh pemerintah harus di tolak.
Bila tidak, maka pemerintah akan di cap sebagai pemerintahan yang tidak konsiten dan bahkan lebih jauh, pemerintahan yang tidak menjalankan amanat konstitusi UUD 1945.
Karena sejatinya ketentuan tentang pemurnian dan pengolahan bahan tambang di dalam negeri adalah amanat yang sudah sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana Putusan MK No. 10/PUU-XII/2014. Selamat Bekerja Pak Jonan!
Oleh : Ridwan Darmawan*
*Advokat/Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)