Eksplorasi.id – Hari Rabu (23/4), Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kunjungan kerja ke Entikong, Kalimantan Barat, memberikan keterangan pers di Bandara Internasional Supadio, Kalbar, mengumumkan bahwa proyek Blok Masela diputuskan dibangun di darat dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan saran yang diberikan.
Lalu bagaimana menindaklanjuti keputusan ini?
Pertama, tentunya harus ada revisi PoD (Plan of Development) Lapangan Abadi, Blok Masela, yang semula diusulkan dengan skema Floating LNG.
Revisi ini tidak mudah karena SoW (scope of work) nya sama sekali berbeda. Inpex-Shell yang sekarang ini sebagai operator blok tersebut harus menginvestasikan waktu, tenaga, dan dana untuk memperbaiki PoD-nya.
Mungkin ini butuh waktu 6-12 bulan bahkan bisa lebih karena menyangkut rencana pemasangan pipa bawah laut dari lapangan Abadi ke darat, termasuk harus melakukan bathimetry survey dan mendesain foot-print pabrik LNG di darat yang disesuaikan dengan topografi dan rencana tata ruang dan peruntukan pulau tersebut (masuk dalam studi AMDAL) yang juga perlu waktu.
Kedua, setelah PoD selesai, diusulkan lagi ke SKK Migas, untuk direview dan diajukan ke MESDM untuk disetujui. Setelah disetujui pemerintah, secara paralel operator harus melakukan pematangan komersial ke LNG buyers untuk menandatangani GSA (gas sales agreement), dan melakukan kegiatan hulu (membor dan menyelesaikan sumur, serta membangun fasilitas produksi/FPSO) di laut, melakukan pembebasan tanah, mengurus perizinan dan membuat FEED (Front-End Engineering Design), barulah nanti keluar FID (final investment decision) dari perusahaan/operator tersebut.
Ketiga, fase pengerjaan proyek. Termasuk di dalamnya membuka tender EPC (engineering, procurement, construction), persetujuan pemenang oleh SKK Migas, mobilisasi pekerja dan equipment, untuk memulai pembangunan hingga commisioning dan start-up.
Keempat, dimulainya produksi dengan mengapalkan LNG.
Itulah kira-kira tahapan proyek jika pengembangan blok Masela mengikuti konsep OLNG (Onshore LNG) atau LNG darat. Tentunya setiap tahap akan memiliki tantangan dan kerumitan sendiri. Jika semua berjalan normal dan lancar, diperkirakan selesai dalam 7-9 tahun, sehingga jika semua pekerjaan dilakukan tahun ini, baru tahun 2023-2025 blok Masela dapat memproduksi LNG.
Lalu, LNG tersebut kira-kira mau dijual ke mana?
Dari hasil kajian McKinsey (2014), Indonesia akan membutuhkan LNG untuk mengimbangi kekurangan suplai gas karena kebutuhan (demand) gas di Tanah Air yang terus meningkat. Diperkirakan tahun 2019 kita defisit gas hingga 3 mtpa (juta ton per annum) LNG atau sekitar 700 MMscfd.
Nah, tentunya jika benar perkiraan LNG Blok Masela diproduksikan tahun 2025, maka tentunya sebagian besar akan diperuntukan menutup kebutuhan gas domestik. Hanya sebagian kecil mungkin masih bisa diekspor. Lagi-lagi pertanyaannya adalah: siapa yang mau beli? Jika investasinya dan ongkos operasinya saja sudah tinggi?
Dalam kajian lain, pada saat itu (2025) dunia sedang dilanda banjir LNG dari Australia, Qatar, Angola, Mozambique, Yaman, dan lain-lain dengan harga yang sangat kompetitif. Kalau benar demikian, maka LNG Masela akan terseok bersaing di international.
Konsep Hulu-Hilir
Berdasarkan situasi demikian, tidak salah kalau kita bertanya megapa kita masih memaksakan membuat pabrik LNG? Alih-alih berdebat antara FLNG dan OLNG, kenapa kita tidak menyodorkan konsep hulu dan hilir dalam pengembangan gas Masela?
Kita bisa meminta Inpex-Shell hanya berkewajiban mengeksploitasi gas dari dasar laut ke permukaan laut dengan menjual gas di well-head (setelah dimurnikan di FPSO – floating production storage and offloading).
Lalu meminta siapapun yang butuh gas, beli di sana. Inilah yang disebut berjualan gas dengan harga FOB (free on-board). Kita bisa minta BUMN (Pertamina, PLN, PGN, PUSRI, Antam Krakatausteel, dll) atau pihak swasta (Freeport smelters, petrokimia, dll) membeli gas tersebut, yang diambil dengan kapal-kapal CNG yang disewa dari BUMN (Pertamina, PAL, dll) atau swasta.
Dengan demikian, tumbuhlah industri-industri strategis nasional yang bergandengan dengan industri maritim untuk memperkokoh kedaulatan NKRI.
Kapal-kapal kecil CNG dapat menyuplai gas sampai ke pelosok pulau-pulau di manapun, baik untuk bahan bakar/baku pembangkit listrik, petrokimia (termasuk pupuk), pabrik keramik, smelters, dll.
Lalu, bagaimana jika investor (Inpex-Shell) atau perusahaan lain masih ingin menjual gas tersebut ke pasar dunia? Bukankah mengapalkan CNG dalam jarak jauh (> 3000 km) tidak ekonomis?
Jika demikian yang diinginkan, maka CNG dapat dikirim ke PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur, untuk dijadikan LNG. Dari sana kemudian LNG dikapalkan ke pembeli yang dituju.
PT Badak NGL tahun ini dan tahun-tahun ke depan akan terus kekurangan pasok gas. Dengan hanya mengoperasikan 3 train dari 8 train yang ada, PT Badak akan memiliki 5 iddle trains yang dapat menyerap dan memproduksi LNG hingga 12 juta ton per tahun (mtpa).
Kalaupun semua gas Masela yang hanya 7,5 mtpa akan dijadikan LNG, maka sudah lebih dari cukup untuk diproses di Bontang. Tidak perlu membangun pabrik baru LNG.
Kalau begitu, konsep ini tidak akan memberi muliplier effect bagi masyarakat Maluku dan sekitarnya. Kata siapa?
Dengan nilai investasi yang jauh lebih kecil (hanya sekitar USD 9 miliar dengan konsep CNG dibanding USD 14-18 miliar pada konsep LNG, berarti ada selisih sekitar USD 5 miliar), dan penyelesaian proyek yg jauh lebih cepat (3 tahun dibanding 7-9 tahun), maka banyak hal yang kita bisa perbuat.
Kita dapat membangun infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, bandara, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, universitas, pabrik pupuk, petrokimia berbasis gas, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan/pendidikan gratis, penaikan gaji PNS, penaikan UMR, dll untuk daerah Maluku dan sekitarnya tidaklah sulit. Bukan hanya Maluku, tapi dapat didistribusikan ke semua pulau yang membutuhkan gas (NTB, NTT, dll).
Jadi, kesimpulannya, keputusan Presiden yang menolak pembangunan LNG di laut sudah sangat tepat. Tapi untuk membangun LNG di darat perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk apa kita membangun pabrik LNG, jika kita masih punya aset negara di PT Badak yg bisa dimanfaatkan? Apalagi, jika gas tersebut sebagian besar untuk domestik, maka dg menjadikannya LNG akan memboroskan 2 kali biaya (membuat LNG dan regasifikasi). Jadi konsep CNG sangat preferable.
2. Jika kita ingin mengembangkan proyek gas Masela lebih cepat dan ekonomis, pisahkan antara proyek hulu dan hilir. Beban negara (pemerintah) akan lebih kecil dengan skema cost recovery yang lebih efisien. Skema ini sekaligus akan mendorong industri hilir maju lebih cepat (sharing risk dan investasi). Inpex-Shell dapat menjual gasnya di well-head, lalu para pembeli mengambilnya dg harga FOB melalui kapal CNG.
3. Jika ada pembeli interasional yang berminat, atau penjual domestik yang ingin mengekspor gas tersebut, gunakan fasilitas PT Badak yang iddle (5 kilang/train!!) untuk membuat LNG kemudian dikapalkan ke negara tujuan.
Demikian, sekedar masukan untuk menindaklanjuti pengumuman Presiden yg telah memutuskan pembangunan LNG di darat (onshore LNG) dalam mengembangkan lapangan gas Abadi di Blok Masela.
Semoga ada manfaatnya!
Oleh: Salis Aprilian*
*Presiden Direktur PT Badak NGL
Presiden perlu menjelaskan apa alasan dan pertimbangannya untuk membangun pabrik LNG baru di darat.
Presiden dipersilahkan membaca tulisan Predir PT Badak yang cukup gamblang, logis dan rasional menjelaskan situasi ke depan kebutuhan gas di dalam negeri yang pasti meningkat, bagaimana situasi supply gas dunia di tahum 2020 and up yang diprediksi melimpah dan membuat harga gas/LNG murah, bahwa LNG Badak saat ini tidak fully utilised dan ada 5 trains idle, bahwa karena itu membangun pabrik baru LNG tidak ada logikanya, bahwa cost saving bisa mencapai US$5 milyar jika NKRI memanfaatkan 5 trains idle LNG Badak instead of membangun pabrik baru LNG dan juga tidak perlu buang waktu 7-9 thun menunggu pabrik baru LNG
Apakah ada alasan sosial politik militer yang belum dikemukakan oleh Presiden tentang mengapa mau membangun pabrik baru LNG di darat ??? Semua itu harus jelas dan transparan jika memang pemerintahan Jokowi ini mengutamakan kejujuran dan benar-benar membangun NKRI secara rasional demi bangsa dan negara, bukan karena tekanan negara lain atau ada maksud terselubung lain…. Tulisan bpk Salis Apriliani cukup gamblang dan secara logis mengungkapkan untung ruginya membuat pabrik baru di darat dibandingkan dengan memanfaatkan 5 idle trains pabrik LNG Badak.
Masukan yang sangat baik, juga u/ SKKMigas…….salam yy
kalo menurut saya, analogi pak Salis lebih ke arah mempertahankan eksistensi PT Badak saja. kalau analoginya seperti itu, maka tidak perlu capek2 bikin Kota Minyak di KM. 3 Palembang, toh ada kota Minyak Pangkalan Brandan di Sumatra Utara. Tujuan Presiden sederhana saja, yaitu membuat kota Minyak Baru di Pulau Selaru. Supaya apa? supaya kapasitas penampungan LNG maupun BBM di Indonesia meningkat. Dan kilang2 penampungan yg modern bertambah. Demikian pula, Papua ada potensi membangun kota Minyak nya sendiri. Ini menjadi mata rantai sejarah, mulai dari Pangkalan Brandan, Palembang, Balikpapan, Bontang, Maluku dan Papua.
Pak Salis
Betul,kalau ada cara yang murah mengapa harus milih yang mahal.
Tapi faktor sosio psikologis dan politis adalah komando dalam pemilihan opsi oleh JKW.(Pemerataan pembangunan ,pembangunan daerah tertinggal dst ).
Disamping itu karena Lapangan Gas Masela berada diperbatasan ,kegiatan tersebut akan memperlihatkan adanya NKRI secara fisik.
Tapi satu pertanyaan :Apakah dengan memakai kapal CNG utk dikirim ke Bontang tidak memerlukan investasi besar ??
Pak Salis
Kalau benar apa yang disampaikan , bahwa ada idle train di Bontang sampai lima train , maka saya heran mengapa hal ini tidak pernah dijadikan salah satu opsi dalam Usulan POD pertama ?
Sbg warga negara RI saya sih tidak mau lokasi kilang LNG di pulau itu hanya akan berumur sama dengan umur Lapangan Masela.
Sebagai orang ksplorasi saya berpendapatt bahwa tugas pemerintah adalah meningkatkan survei2 pendahuluan disekitar Masela agar ada penemuan2 migas baru, ,apakah ini mungkin ?
Bisa ,akan tetapi jangan mengandalkan KKKS , Pemerintah harus mau melakukan dengan biayanya sendiri.
Bravo pak Salis,
Semoga obrolan kita jadi kenyataan dlm pengembangan lapangan gas Abadi di MAsela. Semoga ada gerakan penyelamatan dari pemborosan pada keuangan negara untuk proyek Masela karena jika LNG darat jadi diterapkan dengan model Business Upstream dimana kandungan cost Rec yg sangat dominan shg Revenue dari bagian split gas dan cairan Kondensat akan tergerus habis kecuali pendapatan Pajak, FTP dan DMO.
Dari praktisi migas yg sdh sepuh.
Berdasarkan personal rough/conceptual estimation (levelized cost) untuk 2.5 MTPA (berdasarkan rule of thumbs dan berbagai reference) :
1. FLNG – 4.83 USD/MMBTU
2. OLNG – 3.95 USD/MMBTU
3. FCNG + Current OLNG Badak – 3.38 USD/MMBTU
Untuk 7.5 MTPA, untuk rough estimationnya bisa Seven-Tenths Rule 🙂
Untuk dijadikan produk petrokimia lebih menarik lagi
dari 975mmscfd, berdasar komposisi gasnya :
– 500mmscfd methane bisa dijadikan methanol (cost 258an USD/ton, benefit : 5-6juta usd/tahun)
– 9%nya bisa jd NGL dijadikan ethylene (cost 374USD/ton, benefit 83an juta usd/tahun) dan polypropylene (cost 863 usd/ton, benefit 43an juta usd/tahun
Reference :
1. Michael John Economides (U. of Houston) | Xiuli Wang (Xgas) | Matteo Marongiu-Porcu (Texas A&M University), SPE-115310-MS, The Economics of Compressed Natural Gas Sea Transport , 2008
2. Duncan Seddon, Gas Usage & Value, PenWell, 2006
3. Bob Shively & John Ferrare, Global LNG Business, enerdynamics, 2005
4. David Stenning, Sea NG, Floating CNG, 2011
5. Michael J Economides, Kai Sun ans Gloria Suero Univ of Houston, CNG ; an alternative to LNG, 2006
6.Xiuli Wang, The potential of CNG transport in Asia, IPTC 12078, 2008
7. Xiuli Wang, CNG for Indonesia, SPE-122568, 2009
8. Brian Songhurst, LNG Plant Cost Escalation, OIES NG-83, 2014
9. Agoes Sapto Rahardjo, Industri LNG & Evolusinya di Indonesia, 2015
10. James R Couper, process Engineering Economics, Dekker, 2003
11. Larry R Dysert, CCC, So You Think You’re an Estimator?, AACE, 2005
12. Carl Brannan, Rules of thumbs for chemical engineers 5th edition, 2012
13. Chemical Engineering magazine, June 2016