Eksplorasi.id – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menilai peluang harga BBM naik pada 2017 masih berimbang yakni 50:50, mengingat masih ada kemungkinan pelemahan permintaan atas BBM itu sendiri pada tahun depan.
“Secara total di 2017 saya rasa masih dianggap imbang dari sisi harga minyak sesuai asumsi kita di 45 dolar AS per barel, karena nampaknya dengan perkembangan sekarang,” kata Menkeu, saat menjadi pembicara dalam acara “Sarasehan 100 Ahli Ekonomi Indonesia”, di Jakarta, Selasa (6/12).
“Namun, dilihat dari prospek permintaan tidak ada kenaikan, kemungkinan saja penguatan dari harga BBM itu akan terpengaruh atau dilemahkan dengan permintaan yang melemah juga. Dengan demikian juga dia tidak bisa bertahan lama dalam posisi yang terlalu tinggi,” tambah Sri Mulyani.
Menurutnya, dari sisi permintaan, tidak boleh dilupakan apa yang terjadi di Eropa dengan Brexit-nya, referendum Italia, serta pemilu yang akan dilakukan di Prancis, Jerman, serta Belanda. Hal-hal itu dinilai akan memberikan pengaruh terhadap proyeksi pemulihan ekonomi di Eropa.
Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri, seluruh dunia akan memberikan perhatian terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, dalam menstimulasi permintaan.
“Dari sisi apakah proyeksi komitmen dari OPEC sebagai produsen minyak terbesar secara terorganisasi, maupun dari sisi permintaan masih sangat berbaur dari sisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang kemudian turunannya adalah pemintaan terhadap minyak. Saya melihat bahwa itu kans-nya masih 50:50 dari sisi kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi,” katanya.
Pada akhir November lalu, OPEC sepakat menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari menjadi 32,5 juta barel per hari, efektif mulai 1 Januari selama enam bulan.
Indonesia sendiri memutuskan untuk membekukan sementara keanggotaaan OPEC karena keputusan OPEC tersebut karena dinilai tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Indonesia diminta memotong sekitar lima persen dari produksinya atau sekitar 37.000 barel minyak sehari, padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar terutama dari migas.
Reporter : Inka