Eksplorasi.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan agar potensi energi panas bumi di Indonesia digenjot.
Hal itu dikatakan Jonan dalam pidatonya, Kamis (2/3), saat membuka Diskusi Strategi Pencapaian Target Energi Baru Terbarukan 23% di Jakarta.
Jonan mengatakan, dari total potensi panas bumi di seluruh Indonesia yang mencapai 29 ribu MW, baru 1.400 MW atau 0,5 persen saja yang sudah dimanfaatkan.
“Salah satu kendala yang disebut-sebut menghambat pengembangan panas bumi adalah risikonya yang tinggi dan biaya investasinya yang mahal,” kata dia.
Penjelasan Jonan, mirip dengan bisnis migas, pengembang panas bumi bisa kehilangan jutaan dolar jika eksplorasi gagal menemukan uap panas bumi. Namun, bila pengeboran berhasil menemukan cadangan panas bumi, risiko yang dihadapi sesudah itu relatif kecil.
Dia menambahkan, meskipun berisiko besar, dirinya meminta para pengusaha panas bumi dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya tak membesar-besarkan masalah itu.
“Masih banyak bisnis lain yang lebih berisiko dan para pelaku bisnisnya tak ribut soal risiko itu, misalnya bisnis penerbangan,” jelas dia.
Jonan lalu mencontohkan bisnis Air Asia rugi sangat besar ketika salah satu pesawatnya jatuh di Selat Karimata dan menewaskan seluruh awak maupun penumpang.
“Kerugian terus berlanjut karena penjualan tiket jatuh sampai 24 persen. Sampai hari ini, Air Asia belum bisa benar-benar bangkit setelah kecelakaan di Selat Karimata akhir 2015,” ujar dia.
Penjelasan Jonan, laba yang diperoleh maskapai penerbangan relatif kecil meski bisnisnya berisiko tinggi. Setelah dipotong pajak, keuntungan yang didapat maskapai penerbangan tak lebih dari lima persen.
“Biaya investasinya juga besar untuk membeli pesawat-pesawat baru, yang belum tentu bakal mendapatkan pasar. Pengusaha EBT jangan terlalu banyak mengeluhkan risiko dan meminta insentif-insentif atau feed in tariff tinggi dengan alasan biaya investasi dan risiko besar,” katanya.
Komentar Jonan, banyak bisnis lain yang juga berisiko tinggi, butuh modal investasi besar, tapi tidak mengeluh dan menuntut berbagai insentif dari pemerintah.
Misalnya, maskapai penerbangan hanya memeroleh net margin lima persen sebelum pajak, setelah pajak menjadi sekitar tiga persen.
“Makanya untuk menaikkan net margin satu persen saja, mereka jualan arloji, boneka di pesawat. Kalau maskapai beli pesawat baru, tahu enggak nanti berapa yang naik? Enggak ada yang tahu, Pak,” ujarnya.
Menurut Jonan, risiko besar di bisnis panas bumi dan EBT pada umumnya hanya di awal saja. Misalnya untuk panas bumi, risiko terbesarnya saat eksplorasi.
“Setelah menjual listrik ke PLN, pengusaha EBT hanya menghadapi risiko yang kecil. Beda misalnya dengan bisnis hotel, yang risikonya seumur operasi hotel itu,” jelasnya.
Reporter : Samsul