Eksplorasi.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta turun tangan menuntaskan persoalan yang terjadi antara Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno versus Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik.
“Masa depan Pertamina dan bangsa ini dipertaruhkan akibat terjadinya konflik tersebut, pasca-RUPS belum lama ini,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Sabtu (17/2).
Dia mengatakan, ada sebagian anggota jajaran direksi Pertamina yang bingung atas ketegangan yang terjadi. Bahkan, ada beberapa yang beranggapan ketegangan antara Rini Soemarno versus Massa Manik akan berlangsung lama.
“Kalau ditingkat anggota direksi sudah pada bingung tentu akan berimbas ke bawah pada jabatan SVP (senior vice president) dan VP (vice president) serta manager,” ujar dia.
Padahal, lanjut Yusri, jabatan SVP, VP, dan manajer merupakan ujung tombak operasional dari semua kegiatan Pertamina menyangkut pengadaan BBM, mengangkut ke depo dan mendistribusikan lagi ke SPBU dan SPBBE serta agen penyalurnya dengan tingkat kerumitan paling tinggi di dunia.
“Mengingat sekarang sudah masuk tahun politik dan puncaknya pada 2019, terganggunya kinerja Pertamina akan berimplikasi akan berpotensi terjadi kelangkaan BBM dan elpiji terhadap kebutuhan konsumen. Kondisi ini berkibat buruk bagi citra Presiden Jokowi yang akan maju lagi sebagai capres terkuat pada tahun depan,” jelas dia.
Yusri berkomentar, Presiden Jokowi harus cepat dan tegas menuntaskan ketegangan antara Rini Soemarno dengan Masa Manik, agar tidak berdampak buruk terhadap kinerja Pertamina dalam melayani kebutuhan BBM dan elpiji yang murah dan dipastikan tersedia bagi seluruh rakyat .
Dia menegaskan, Undang-Undang No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan kekuasaan tertinggi di dalam perseroan terbatas yang tidak diserahkan kepada dewan komisaris dan direksi.
“Tanpa bermaksud lancang terhadap presiden, mohon seribu maaf saya mengusulkan harus ada keputusan yang diambil oleh presiden dalam menyikapi hal ini, yaitu mencopot dirut Pertamina karena tidak tunduk atas keputusan RUPS pada 13 Februari 2018 sebagai keputusan tertinggi perseroan,” terang Yusri.
Tujuannya, imbuh dia, untuk menjaga kewibawaan pemerintah, mengingat menteri BUMN adalah pembantu presiden.
Yusri menilai, publik juga memahami bahwa perubahan nomenklatur dan penambahan direksi tersebut pasti sudah terlebih dahulu dibahas dan dibicarakan dengan komisaris utama.
“Menjadi sangat aneh ketika pada saat menjelang dilaksanakan RUPS pagi hari dan seluruh peserta telah datang, mendadak Deputi BUMN Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Harry Fajar Sampurno dipanggil ke Istana menemui mensesneg dan jadwal RUPS ditunda dari pagi menjadi sore,” ungkap dia.
Ternyata, ungkap dia, banyak jabatan struktur organisasi hasil perubahan nomenklatur masih kosong. Padahal struktur tersebut sudah disahkan oleh RUPS dengan keputusan Menteri BUMN No 39/MBU/02/2018 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur, dan Pengalihan Tugas Anggota Direksi Perseroan PT Pertamina.
“Publik sementara menyimpulkan ada masalah yang tidak tuntas. Lebih parah lagi, tersiar kabar dari mulut ke mulut di internal Pertamina dan di kalangan masyarakat bahwa dirut Pertamina dengan bangga menyatakan bahwa pembatalan pengisian jabatan direksi baru tersebut adalah hasil usahanya, karena dirut tidak menyetujui orang-orang yang ditunjuk oleh RUPS,” ucap dia.
Yusri berpendapat, kondisi itu lebih menguatkan untuk dilakukannya perombakan besar-besaran atas direksi dan dewan komisaris Pertamina saat ini, sekaligus menata kembali organisasi yang cocok sesuai masukan para ahli migas.
“Seandainya jalan di atas tidak bisa dijalankan, mungkin pilihan lainnya adalah memberikan ‘kartu merah’ dengan mencopot dirut Pertamina dan menteri BUMN secara bersamaan sebagai sumber kegaduhan,” katanya.
Reporter: Sam