Eksplorasi.id – Kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo bersama rombongan pada 6 September 2017 dalam rangka menghadiri perayaan 50 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura, ternyata berbuah kesepakatan kontrak perjanjian inti (head of agreement/ HoA).
HoA yang dimaksud adalah terkait suplai gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG ) antara PT PLN (Persero) dengan dua perusahaan trader asal Singapura, Keppel Offshore and Marine dan Pavillion Gas, begitulah berita yang dirilis oleh berbagai media Singapura.
Adapun rombongan yang ikut serta bersama Presiden Joko Widodo antara lain, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi
Kontrak kesepakatan HoA itu menyatakan bahwa Keppel Offshore and Marine dan Pavillion Gas akan mensuplai kebutuhan LNG dengan kapal LNG ukuran kecil untuk PLTGU kapasitas 25 MW hingga 100 MW untuk wilayah bagian barat Indonesia. Demikian seperti yang dikatakan Seah Moon Ming, CEO and executive director Pavilion Energy Pte Ltd dan Pavilion Gas Pte Ltd.
Uniknya, berita penandatanganan kesepakatan HoA itu ternyata sepi dari pemberitaan media dalam negeri (Indonesia). Mungkin bisa jadi kegiatan itu dianggap sebagai ‘aib tata kelola migas nasional’, namun sebaliknya ramai diberitakan oleh media Singapura, karena dianggap prestasi luar biasa.
Ya, hanya dengan perusahaan sekelas trader yang tidak memiliki sumber gas bisa menundukkan sebuah negara besar yang menghasilkan gas. Sebenarnya, publik di Indonesia sudah mendengar awal kegiatan itu dimulai dengan kedatangan delegasi perusahaan Keppel Offshore and Marine di kantor Kemenko Kemaritiman pada 15 Agustus 2017.
Kala itu, Luhut ditemani Direktur Pengadaaan Strategis PT PLN (Persero) Nicke Widyawati dan Dirjen Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial saat menemui delegasi Keppel.
Pertemuan itu sebagai penjajakan untuk suplai LNG bagi kebutuhan PLN di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Informasi itu langsung merebak ke publik dan sempat membingungkan serta menimbulkan tanda tanya besar.
Bagaimana mungkin perusahaan trader yang mempunyai storage LNG di negara yang tidak ada sumber gasnya bisa menjual murah LNG daripada LNG milik bagian negara, KKKS, PT Pertamina (Persero), serta PT PGN Tbk (Persero).
Semakin aneh ketika mendadak di tikungan terakhir muncul sebuah perusahaan bernama Pavilion Energy yang baru didirikan pada 2012 bisa ikut terlibat dalam HoA tersebut.
Selama ini perusahaan tersebut tidak pernah terungkap ke publik di Tanah Air. Tidak ada satu pun keterangan, baik dari pihak Kemenko Kemaritiman maupun PLN yang bicara soal keterlibatan Pavilion Energy. Ibarat kata kalau dalam pertempuran, perusahaan ini seperti ‘kapal selam’, pada saat pertempuran final dia baru muncul ke permukaan.
Kontrak impor LNG ini bisa menjadi mulus karena dengan mendadak juga Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11/2017 tanggal 30 Januari 2017 yang baru seumur jagung menjadi Permen ESDM No 45/2017 tanggal 25 Juli 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik.
Salah satu poin pada aturan tersebut, pasal 8 ayat (1) tertulis bahwa PLN atau Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL) dapat membeli gas bumi melalui pipa di pembangkit listrik (plant gate) dengan harga paling tinggi 14,5 persen harga minyak nasional (Indonesian Crude Price/ ICP).
Kemudian, pasal 8 ayat (2) butir b tertulis, dalam hal terdapat harga LNG domestik di pembangkit listrik (plant gate) sama dengan harga LNG impor di pembangkit listrik (plant gate), PLN atau BUPTL wajib membeli LNG dari dalam negeri. Artinya cukup PLN bisa membuktikan bisa mendapat harga impor lebih murah 1 sen dollar Amerika Serikat dari harga LNG dalam negeri, maka PLN bisa melakukan impor gas.
Lucunya, diberbagai kesempatan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan pernyataan kadang terkesan masih ragu atau ada hal yang ditutupi, Misalnya pada 15 Agustus 2017 dia mengatakan bahwa akan diproses tender, namun dia tidak tahu apa nama perusahaannya.
Namun, beberapa hari kemudian, tepatnya pada 21 Agustus 2017, Luhut berkomentar, “Ini belum final, tanda tangan nanti pas pertemuan Indonesia-Singapura. Terus terang ada politik-politiknya, tapi ini kan biar kita efisien.” Dilansir dari Detik.com pada 21 Agustus 2017.
Anehnya, jajaran direksi PLN kerap memberi keterangan tidak utuh dan membingungkan publik. Pernah pada satu waktu mengatakan baru tahap penjajakan dan belum tentu juga harga LNG yang ditawarkan oleh perusahaan Singapura itu lebih murah.
Ada juga menyatakan bahwa PLN hanya menyewa infrastukturnya saja, sedangkan LNG dengan pola swap supaya efisien. Bahkan pada kesempatan lain dikatakan bahwa PLN tidak ada rencana mengimpor LNG dalam waktu dekat dan sampai dengan tahun 2022 seperti dikatakan Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN Nicke Widyawati.
Dia mengatakan, dengan kondisi lapangan yang ada saat ini, kemungkinan impor tidak dilakukan hingga 2022. “Setelah 2022 kelihatannya sudah harus mulai impor. Tapi nanti kan tergantung proses pembangunan hulu di Indonesia seperti apa,” kata dia, dilansir dari Katadata.co.id, Jumat (8/9).
Artinya, PLN sudah aman mendapat kepastian suplai gas untuk kebutuhan seluruh pembangkitnya yang menggunakan bahan energi gas, walaupun pada akhirnya mereka mengakui telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) bukan HoA.
Sejalan dengan pernyataan direksi PLN, IGN Wiratmaja Puja saat masih menjabat sebagai dirjen Migas mengatakan bahwa berdasarkan neraca gas Kementerian ESDM yang akan direvisi atas keluarnya produksi Lapangan Jangkrik dari Blok Muara Bakau dan Train 3 Blok Tangguh, Indonesia tidak melakukan impor LNG hingga 2020.
Bahkan, dia juga beralasan ada sekitar 16-18 kargo LNG yang belum terserap oleh pasar akan dialokasikan untuk kepentingan domestik. Tahun lalu (2016), ada sekitar 66 kargo LNG tidak terserap, sehingga sebagian besar diekspor.
Tentu publik semakin bingung dengan sikap Luhut Binsar yang terus mendorong pihak PLN untuk merealisasikan kerja sama suplai LNG dengan pihak trader Singapura, dengan alasan harganya lebih murah. Mungking Luhut Binsar lupa ada 18 kargo LNG bagian negara yang belum jelas terserap ke mana.
Bagian DMO
Semestinya ekses kargo LNG dari Blok Tangguh dan Blok Muara Bakau merupakan bagian dari DMO (Domestic Market Obligation)–kewajiban yang dibebankan kepada kontraktor untuk menyisihkan sebagian dari bagian kontraktor untuk diserahkan kepada pemerintah–yang harus dibeli PLN dengan harga minimal sama dengan harga impor LNG.
Artinya PLN membeli dengan harga patokan MOPS (Mean of Platts Singapore). Apalagi kalau dikaitkan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo bahwa harga gas di hulu harus bisa murah dan di bawah USD 6 per MMBtu. Tujuannya agar industri yang berbahan baku gas bisa bersaing.
Padahal, pada 12 November 2016, telah diadakan rapat koordinasi di Kantor Kemenko Perekonomian untuk menjalankan perintah presiden. Rapat tersebut dihadiri pihak dari Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, SKK Migas, Pertamina, dan PGN untuk membahas langkah efisiensi agar harga jual gas di bawah USD 6 per MMBtu.
Berbagai simulasi dilakukan, termasuk skenario menurunkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di hulu agar semua industri bisa memproduksi barangnya dengan harga murah dan bisa bersaing dengan bahan produksi impor. Sehingga didapat harga FOB (Free On Board) sebesar USD 4 per MMBtu adalah harga terbaik bagi tujuh industri bisa bersaing.
Harga FOB itu kemudian ditambah biaya distribusi USD 1,5, transmisi USD 0,89, shipping USD 0,6, dan regasifikasi USD 1-3 per MMBtu. Hal itu diharapkan bisa memberikan dampak ganda dari berbagai aktifitas. Di sanalah negara bisa mendapat banyak penerimaan dari hasil pajaknya.
Seandainya memang benar bisa dibuktikan pada saat realisasinya dua tahun kemudian dari tanda tangan HoA ini PLN bisa membeli LNG impor lebih murah dari LNG dalam negeri, maka PLN dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar perlu diberikan tanda jasa oleh negara karena telah menguntungkan negara.
Sudah semestinya pula presiden dan Komisi VII DPR dalam revisi UU Migas untuk segera menghapus SKK Migas dan BPH Migas, karena terbukti keberadaannya hanya menambah beban negara saja.
Akan tetapi, apabila sebaliknya harga impor LNG lebih mahal, Menteri Luhut dan direksi PLN akan bernasib sama dengan pejabat negara lainnya yang akan rajin mondar mandir ke kantor penegak hukum. Artinya mafia migas tetap berjaya dengan selubung baju baru di balik revisi Permen ESDM.
Saran lainnya, kontrak PLN dengan trader Singapura tersebut sebaiknya tidak dalam bentuk kontrak panjang (long contract) tetapi lebih kepada transaksi sementara (spot deal) untuk melindungi PLN apabila dikemudian hari harga LNG naik seiring naiknya harga minyak mentah dunia.
Kemudian, kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan bisa segera lempar handuk dan menyerah saja. Ini sebagai sikap kesatria, di mana dia telah gagal mengendalikan Kementerian ESDM selama ini.
Menteri Jonan hanya bisa menyalahkan Kementerian BUMN akibat kerugian Pertamina sebesar Rp 12 triliun dalam menjalankan perintah lisan presiden soal kebijakan satu harga BBM di seluruh Tanah Air, terkait Peraturan Presiden (Perpres) No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Di sisi lain, Menteri Jonan hanya rajin memberikan persetujuan atas rekomendasi ekspor mineral mentah sebanyak sekitar 10 juta metrik ton yang mengancam program hilirisasi industri mineral logam berharga sesuai maksud isi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Oleh : Yusri Usman*
*Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)