Eksplorasi.id – Mitos bahwa bahwa selama ini pengembangan listrik panas bumi mahal harus segera dihapuskan. Hal itu ditegaskan oleh Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) Hasanuddin.
Dia mengatakan, mitos tersebut harus segera disingkarkan karena jika tidak maka kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia akan jalan di tempat, bahkan terhenti total.
“Sebaiknya kalangan yang bilang bisnis panas bumi itu mahal harus segera menghentikan omongannya. Mereka hanya tiba-tiba menyebut angka per satu sumur investasinya sekian juta dolar AS tanpa menjelaskan lebih rinci. Ini pembodohan namanya,” kata dia kepada Eksplorasi.id melalui hubungan telepon selular, Selasa (8/11).
Menurut Hasanuddin, sebenarnya bisnis panas bumi hampir sama dengan migas. Persoalannya adalah, banyak kegiatan yang sengaja dilakukan di luar prosedur yang berlaku.
“Misalnya ada yang bilang untuk membangkitkan 1 MW listrik panas bumi dibutuhkan dana sekitar USD 2,5 juta hingga USD 3 juta. Sayangnya sama sekali tidak dijelaskan dari mana angka yang ada di dalam berita itu muncul. Hanya disebutkan angkanya saja,” jelas dia.
Dia menambahkan, untuk mempermudah skema bisnis panas bumi maka bisa dibandingkan dengan harga produksi energi panas bumu dengan minyak.
Hasanuddin memang mengakui bahwa banyak faktor yang mengontrol biaya pemboran, seperti ke dalaman, diameter, disain casing, dan karakteristik khusus dari lokasi.
“Saya pernah baca makalah berjudul A Comparison of Geothermal with Oil and Gas Well Drilling Costs, mungkin dari sana kita bisa melihat data biaya pemboran yang akan bisa menjadi titik awal melihat perbandingan yang ada,” ujarnya.
Di satu sisi, Hasanuddin memberi contoh, Indonesia sudah melakukan pemboran panas bumi jauh sebelum negara lain melakukan, di tengah kondisi keuangan dan teknologi saat itu belum semaju saat ini.
“Kita bisa lihat eksplorasi panas bumi di Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ide awal eksplorasi panas bumi di Kamojang awalnya memang dicetuskan oleh seorang ilmuan dari Belanda bernama JB Van Dijk pada 1918,” jelas dia.
Namun, lanjut dia, kala itu usulan tersebut tidak langsung dilaksanakan, karena banyak kendala dan pertimbangan dari pemerintah Hindia Belanda.
“Ide untuk mengeksplorasi sumber panas bumi di Kamojang kemudian dicetuskan kembali oleh NJM Taverne pada 1925, setelah dia melihat hasil-hasil yang nyata pemanfaatan panas bumi yang dikembangkan di Italia dan di California,” jelasnya.
Kemudian, terang Hasanuddin, pemerintah Hindia Belanda merealisasikannya dengan membentuk perusahaan yang bernama The Netherland East Indies Vulcanologycal Survey. Perusahaan ini berhasil melakukan pengeboran lima sumur dari 1925 sampai 1928.
Sayangnya, setelah pertengahan 1928 pengoboran oleh The Netherland East Indies Vulcanologycal Survey berhenti karena keadaan finansial pemerintah kolonial Belanda tidak memadai untuk melakukan pengembangan pengeboran lebih lanjut.
Berikutnya, Geothermal Survey of Indonesia yang bekerja sama dengan New Zealand Geothermal Project pada 1971-1979 kembali melakukan pemboran sebanyak 14 sumur eksplorasi. Pada 1978 energi panas bumi Kamojang untuk pertama kalinya menghasilkan energi listrik sebesar 0,25 MW dan diresmikan pengoperasiannya oleh Menteri Pertambangan dan Energi Subroto.
Selanjutnya, pada 1979–2003 kembali dilakukan pengeboran sumur pengembangan dan produksi, kemudian pada 1983, PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 MW ditetapkan secara resmi oleh Presiden RI Soeharto sebagai lapangan panas bumi pertama di Indonesia, dilanjutkan dengan peresmian PLTP Unit 2 & 3 (2 x 55 MW) pada 1988 dilanjutkan kemudian pada 2003-2007 dengan PLTP Unit 4 (60 MWe).
Reporter : Diaz