Eksplorasi.id – BARRACK Hussein Obama, presiden Amerika Serika (AS), sempat menunda lawatannya ke Indonesia pada 23-25 Maret 2010.
Namun, pada 9-11 November 2010, pria yang merupakan keturunan Afrika-Amerika pertama yang menjabat sebagai presiden AS itu akhirnya tiba juga di Indonesia.
Robert Gibss, juru bicara Gedung Putih (White House), pernah mengatakan, kunjungan Obama ke Indonesia bukanlah sebuah perjalanan wisata.
Gibss juga menegaskan bahwa kunjungan tersebut sangat penting, mengingat Indonesia adalah negara sekaligus mitra yang penting di mata AS.
Ada satu pertanyaan yang hingga kini belum terjawab dengan pasti soal kedatangan Obama ke Indonesia tersebut kala itu.
Pertanyaan yang menggelayut tersebut adalah, apakah kunjungan Obama tersebut juga membicarakan persoalan pengembangan Blok Natuna D Alpha, sekarang Blok East Natuna atau Natuna Timur, yang ada di Kepulauan Riau?
Pasalnya, di awal 2008, salah satu perusahaan multinasional AS di sektor migas, ExxonMobil Corporation, sudah ‘didepak’ pemerintah Indonesia dalam mengelola ladang migas terbesar se-Asia tersebut.
Akhir Januari 2009, Stephen M Greenlee, vice president Eksplorasi ExxonMobil Asia Pasifik, terbang dari Manila, Filipina, ke Jakarta. Ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan.
Kedatangannya ke Jakarta salah satunya untuk bertemu, Raden Priyono, kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), saat itu—kini berganti nama menjadi SKK Migas.
Greenlee ditemani Asep Sulaeman, vice president Eksplorasi ExxonMobil Indonesia, ketika bertemu dengan Priyono.
Greenlee bertemu Priyono untuk membicarakan soal tarik-ulur kontrak gas di East Natuna. Boleh jadi inilah pertemuan pertama antara petinggi Exxon dan orang nomor satu di BP Migas, setelah rencana pengembangan (plan of development) East Natuna yang disodorkan Exxon ditolak pada pertengahan Januari 2009. Pemerintah menilai proposal itu tidak dibutuhkan lagi karena kontrak Exxon otomatis kedaluwarsa sejak 2005.
Menurut Greenlee, Exxon merasa tidak pernah menerima surat resmi dari pemerintah Indonesia soal berakhirnya kontrak. Namun, Priyono berkukuh kontrak sudah berakhir.
Singkat cerita, PT Pertamina (Persero) pada 19 Februari 2008 diberi mandat oleh pemerintah Indonesia untuk mengelola Blok East Natuna. Berdasarkan pandangan pemerintah, kontrak Exxon di Natuna telah berakhir pada 8 Januari 2005.
Exxon memegang kontrak Natuna sejak 8 Januari 1980 (saat masih bernama Esso). Pada 1985, Exxon memperoleh perpanjangan kontrak selama 20 tahun.
Namun, selama kurun itu, Exxon tak kunjung membuat Natuna berproduksi. Exxon bahkan tidak mengajukan program pengembangan lapangan seperti diwajibkan kontrak (PSC Section II pasal 2.2 B).
Karena itu, berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC), kontrak Exxon di Natuna dinyatakan sudah berakhir terhitung 9 Januari 2005.
Pemerintah pun secara resmi menunjuk Pertamina dalam pengembangan Blok East Natuna yang tertuang dalam Surat Menteri ESDM No 3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D-Alpha.
Pertamina bergerak cepat. Pada 16 Juli 2008, perusahaan migas pelat merah tersebut menunjuk Wood MacKenzie Ltd, perusahaan konsultan yang berbasis di Edinburgh, Skotlandia, untuk melakukan kajian siapa yang menjadi calon mitra strategis perseroan.
Langkah itu ditempuh Pertamina karena proyek Natuna terlalu jumbo bila digarap sendirian. Maklum, cadangan gas di Natuna yang ditaksir mencapai 222 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/tcf) ternyata sekitar 70 persen-nya mengandung karbondioksida (CO2).
Selain itu, nilai investasi di Blok East Natuna selangit, yakni diperkirakan sekitar USD 30-50 miliar atau setara Rp 393,6 triliun hingga Rp 656 triliun (kurs Rp 13.120). Fantastis!
Dari 20 perusahaan yang diseleksi, delapan perusahaan minyak dan gas papan atas lolos ke tahap dua. Mereka adalah Total SA Prancis, Royal Dutch Shell Plc Belanda, StatOil Norwegia, Petroliam Nasional Berhad (Petronas) Malaysia, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), ExxonMobil Corporation, Eni SpA Italia, dan Chevron Corporation.
Terselipnya nama Exxon konon karena perusahaan tersebut ditawari ikut serta. Exxon menerima ajakan itu karena sadar posisinya tidak aman, sementara Exxon juga tidak mau kehilangan Natuna begitu saja.
”Mereka menjalankan politik ganda,” kata Abdul Muin, yang kala itu menjabat sebagai wakil kepala BP Migas.
***
Pemilihan mitra yang dilakukan Pertamina ternyata menemui hambatan. Wood MacKenzie sempat menghentikannya di tengah jalan. Pada Februari 2009, Wood MacKenzie melayangkan surat ke delapan perusahaan migas tersebut di atas.
Intinya, proses seleksi tak bisa dilanjutkan karena status hukum ladang gas Natuna belum jelas, karena masih terjadi tarik-ulur antara pemerintah Indonesia dan ExxonMobil.
Proses seleksi akhirnya diteruskan pada awal 2011. Delapan perusahaan tadi diminta mengajukan proposal penawaran. Di tengah jalan, Chevron, ENI, dan CNPC mundur.
Akhirnya tersisa lima perusahaan yang ikut seleksi. Pertamina, konon sempat condong ke Statoil. Secara finansial dan teknologi, perusahaan migas yang berbasis di Norwegia itu memenuhi syarat.
Statoil dikabarkan memang sempat ngebet bisa ikut menggarap Natuna. Pada 2009, Helge Lund, salah satu petinggi StatoilHydro sempat bertemu wakil presiden di era SBY, Jusuf Kalla. Sayang, Statoil sepertinya tidak bisa memberi nilai plus bagi Pertamina.
Balik lagi ke soal Exxon. Konon, Exxon tetap dipertahankan karena menyimpan data geologi Blok East Natuna. Sejak pemerintah memutuskan kontrak kerja samanya di Natuna, ExxonMobil tak pernah mengembalikan data tersebut kepada pemerintah.
Exxon resmi digandeng kembali Pertamina untuk mengelola Blok East Natuna pada 3 Desember 2010. Dalam konsorsium tersebut, Exxon menggunakan bendera Esso Natuna Ltd. Selanjutnya, pada 17 Desember 2010, Total dan Petronas juga terpilih sebagai mitra Pertamina di Natuna.
***
Akhir Februari 2012, industri migas di Tanah Air dikejutkan dengan kabar mundurnya Petronas Carigali Sdn Berhad dari konsorsium pengembangan Blok East Natuna.
Kabar tersebut sontak membuat sebagian besar pelaku bisnis di sektor migas bertanya-tanya apa alasan utama Petronas ‘balik badan’ dari East Natuna.
Rumor pun beredar. Malaysia melalui Petronas tak ingin bersitegang dengan Cina yang yang mengklaim Laut Cina Selatan, di mana di situ ada Pulau Natuna, menjadi wilayah perairannya.
Dirjen Migas Kementerian ESDM saat itu, Evita Herawati Legowo, mengatakan, mundurnya Petronas sebagai rekan kerja Pertamina dalam mengelola Blok East Natuna adalah hak. “Ini sifatnya business to business, jadi antarpengelola saja,” kata dia.
Sayangnya, manajemen Petronas tidak pernah memberi penjelasan secara gambalang soal alasan mundurnya perusahaan dari East Natuna.
Almarhum Widjajono Partowidagdo, wakil menteri ESDM saat itu, menilai, mundurnya Petronas tidak akan membuat pengembangan East Natuna batal.
Bahkan, pemerintah mempersilakan Pertamina membuka peluang bagi mitra baru, atau tetap berjalan dengan mitra yang ada jika Pertamina mampu melakukannya.
Menurut Widjajono, banyak kontraktor migas yang ingin terlibat dalam megaproyek itu.
Terlepas dari situasi politik soal klaim Cina soal Kepulauan Natuna, Widjajono berpendapat bahwa mundurnya Petronas bisa disebabkan soal ‘pembagian keuntungan’, dalam hal ini split(bagi hasil) antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor migas.
“Split East Natuna bergantung pada perhitungan biaya investasi dan pengembalian modal. Jika investasinya mahal, split untuk pemerintah harus kecil. Tapi, bila investasinya murah, split untuk pemerintah harus lebih tinggi,” jelas dia.
Karen Agustiawan ketika masih menjabat sebagai dirut Pertamina pernah berkomentar, mundurnya Petronas membuka kesempatan perusahaan migas lain untuk bermitra dengan Pertamina. “Tidak menutup kemungkinan kami mencari mitra lain,” kata dia.
Karen menjelaskan, mundurnya Petronas karena pertimbangan pribadi perusahaan migas asal Malaysia tersebut. “Jadi bukan karena tidak cocok dengan kontrak kerja sama yang kami susun,” ujarnya.
Ketika meneken kesepakatan untuk bekerja sama, Petronas dipimpin oleh Tan Sri Hassan Marican yang mempunyai program eksplorasi besar-besaran. Namun, pimpinan Petronas sudah berubah dan menilai proyek East Natuna kurang memuaskan dan tidak menjadi skala prioritas perusahaan.
Karen meyakinkan, mundurnya Petronas tidak akan terlalu mengganggu pengembangan proyek gas berkandungan karbondioksida hingga 70 persen tersebut.
Pasalnya, kinerja dan risiko masih bisa ditanggung dengan mitra tersisa. Namun, dia belum memastikan apakah proyek ini bakal mundur dari target beroperasi atau tidak.
Mitra Pertamina lainnya di East Natuna, Total E&P Activities Petrolieres (unit usaha Total SA), menyatakan tidak akan mundur dalam proyek pengembangan di East Natuna.
Hal itu ditegaskan Elisabeth Proust, presiden direktur dan general manager Total E&P Indonesie, kala itu. Total E&P selama ini merupakan unit usaha Total SA di Indonesia. “Total tetap berniat bekerja sama dengan Pertamina untuk mengelola East Natuna,” katanya.
Sebelumnya, pada 19 Agustus 2011, Pertamina dan mitra telah menandatangani prinsip-prinsip kesepakatan (Principles of Agreement/PoA) eksplorasi dan eksploitasi wilayah East Natuna.
PoA dimaksudkan untuk melanjutkan proses menuju persiapan kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC). Namun, hingga saat ini PSC belum juga diteken. Dengan mundurnya Petronas, pemerintah belum bisa memastikan kapan PSC bisa diteken.
Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan beserta konsorsium masih membahas insentif yang bisa diberikan untuk pengelolaan lapangan tersebut.
Manajemen Pertamina menghitung dana investasi untuk East Natuna mencapai USD 40 miliar. Kisaran besaran biaya itu tergantung pada jenis pengangkutan gas yang akan dipilih oleh kontraktor, yaitu melalui pipa atau berupa gas alam cair (liquified natural gas/LNG).
Blok East Natuna merupakan lapangan gas terbesar di Asia Timur. Blok di lepas pantai Natuna ini memiliki potensi hingga 222 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/tcf) dan bisa diproduksikan mencapai 46 tcf.
Namun, gas di East Natuna memiliki kandungan karbon dioksida cukup tinggi, yaitu 70 persen. Untuk menggarap lapangan ini, dibutuhkan teknologi tinggi pemisah karbon.
Semula, Petronas dipilih karena sebelumnya dianggap berhasil menurunkan kandungan CO2 disejumlah proyek, seperti di Kilang Cakerawala Blok A-18 di Teluk Thailand dari 37 persen menjadi 23 persen, di proyek Talisman lepas pantai Peninsular-Malaysia dari 44 persen ke 8 persen, dan pada proyek CPOC di Teluk Thailand dari 45 persen ke 23 persen.
Sementara Exxon berpengalaman menginjeksikan CO2 sebesar 66 persen dari lapangan Wyoming ke lapisanaquifier di dalam tanah ladang Labarge. Sementara Total berhasil memisahkan gas CO2 di ladang LACQ di Pau, selatan Prancis. Dalam dua tahun, perusahaan Perancis ini berhasil menginjeksikan 120 ribu ton CO2 ke dalam lapisan tanah.
Sebuah kabar sempat beredar, Petronas mengaku telah menyiapkan dana senilai 30 persen saham di East Natuna. Namun, dengan banyaknya mitra yang digandeng Pertamina, Petronas sepertinya sulit memiliki saham sebesar itu.
Blok East Natuna oleh sebagian kalangan disebut-sebut sebagai ladang gas terbesar se-Asia. Terletak sekitar 250 kilometer dari Kepulauan Natuna dengan ke dalaman 300-400 meter, kolam gas ini ditemukan oleh Agip, sebuah perusahaan minyak Italia, pada 1973.
***
Pertengahan Juli 2016, Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mengklaim bahwa Total E&P Indonesie telah mundur dari konsorsium pengelolaan Blok East Natuna.
Dwi mengungkapkan, saat ini konsorsium Blok East Natuna hanya tersisa Pertamina sebagai pemimpin konsorsium, serta ExxonMobil dan PTT Thailand.
Dwi tidak menjelaskan secara detail alasan Total mundur dari konsorsium di Blok East Natuna beserta waktunya. Namun, Media Relations Departement Head Total E&P Indonesie Kristanto membantah klaim Pertamina tersebut.
Penegasan Total E&P telah mundur pun tampaknya juga diamini jajaran di bawah Dwi Soetjipto. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro, mengungkapkan telah dibentuk konsorsium untuk mengelola Blok East Natuna, terdiri atas Pertamina, ExxonMobil, dan PTTEP Thailand.
Wianda menjelaskan, lapangan migas di Blok East Natuna menantang untuk diselesaikan. Meskipun berisiko tinggi karena memiliki kandungan CO2 mencapai 72 persen. Konon cadangan gasnya mengalahkan Lapangan Bontang.
Konsorsium kini tengah melakukan studi pasar dan teknologi untuk pengembangan East Natuna, yang diharapkan akan selesai hingga 2017.
Sementara, Menteri ESDM Archandra Tahar, selaku pengganti Sudirman Said, tampaknya bergerak cepat untuk segera merealisasikan proyek tersebut.
Bahkan dia telah bertemu dengan pihak ExxonMobil dan Pertamina untuk membahas perkembangan pengembangan Blok East Natuna.
Archandra pun telah melakukan pertemuan dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan untuk membahas pengembangan blok tersebut.
Kini, pemerintah tengah mengkaji beberapa insentif yang akan diberikan kepada kontraktor untuk mengembangkan Blok East Natuna. Pertimbangannya, eksplorasi di blok itu sudah dilakukan sejak 1973 silam, tapi sampai sekarang belum juga dapat berproduksi.
Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan, internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi untuk mengembangkan Blok East Natuna sebesar 12 persen. Untuk mencapai tingkat tersebut, maka diperlukan beberapa insentif.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa opsi insentif. Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua adalah jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun.
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil migas dari blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak.
Setidaknya ada dua faktor yang jadi pertimbangan pemerintah memberikan bagi hasil lebih besar untuk kontraktor. Pertama, keekonomian proyek tersebut. Kedua, pertimbangan pertahanan negara.
Blok ini memang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, yang sedang menjadi sengketa beberapa negara. Jika pemerintah tetap bertahan menginginkan bagi hasil yang lebih besar maka dikhawatirkan proyek tersebut tidak akan terbangun. Alhasil, tujuan pertahanan negara tidak tercapai.
Menurut Wiratmaja, jika insentif itu tidak diberikan maka opsi lainnya adalah menunggu harga minyak mencapai level USD 100 per barel agar mencapai tingkat keekonomian.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam pernah mengatakan, salah satu tantangan mengembangkan Blok East Natuna adalah teknologi. Sebab, teknologi untuk memisahkan karbondioksida tersebut mahal. Supaya bisa ekonomis, Pertamina juga berharap dukungan dari pemerintah.
Jadi, bagaimana nasib Blok East Natuna ke depannya? Tampaknya asa untuk Natuna harus tetap ada demi kemajuan bangsa.
Data Blok East Natuna
Negara : Indonesia
Wilayah : Laut Cina Selatan
Lokasi : East Natuna Basin
Skema : Laut (Offshore)
Operator : Pertamina
Rekanan : Pertamina, ExxonMobil, PTT Exploration and Production
Penemuan : 1973
Produksi :
• Estimation gas in place 222,000×109 cu ft (6,300×109 m3)
• Recoverable gas 46,000×109 cu ft (1,300×109 m3)
Formasi : Terumbu (Middle to Late Miocene)
Oleh Heriyono Nayottama*
*Pemimpin Redaksi Eksplorasi.id