Eksplorasi.id – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merancang revisi Undang-Undang (UU) Migas Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) sejak tahun lalu.
Demikian disampaikan Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy N Sommeng, dalam diskusi ‘Mewujudkan Nawacita Sektor ESDM: Sumbang Saran Iluni UI kepada Pemerintah Jokowi’, di UI Salemba, Jakarta, Senin (29/8/2016).
Akan tetapi, tutur Andy, revisi tersebut harus dilihat secara keseluruhan. Serta bagaimana memahami proses yang ada di sektor migas itu sendiri.
“Yang harus direvisi, melihat secara keseluruhan adalah yang paling penting adalah bagaimana kita memahami bisnis proses dari sektor migas. Karena UU migas nomor 22 jelas. Tetapi memang ada trade off dalam kaitannya di bisnis proses migas,” ujar dia.
Dia menjelaskan, proses bisnis migas tersebut yakni dari hulu ke hilir, di mana ada trade off dengan konstitusi. Kemudian migas berdasar dari sumber daya alam (SDA) yang tidak terbarukan. Sehingga terjadi lah filosofi dasar, di mana pada waktu itu dilakukan unbundling antara kegitan hulu dan hilir.
“Kegiatan hulu harus full compile terhadap konstitusi pasal 33. Kegiatan hilir baru berkaitan dengan hak ekonomi masyarakat, siapa pun bisa melakukan itu. Tentunya kalau di dalam sektor SDA ada tiga hal yang harus diperhatikan, hak mineralnya, hak penambangannya, dan hak ekonomi. Dari konstruksi hukumnya harus dibangun,” bebernya.
Kedua, tambah dia, UU Migas saat ini dalam status tidak sepenuhnya dibatalkan. Dia mengungkapkan, revisi UU Migas ini hanya untuk beberapa pasal yang kebetulan berkaitan dengan kegiatan hulu.
“Sementara kegiatan hilir tidak ada yang dibatalkan. Sehingga dalam membangun konstruksi hukum UU Migas ke depan harus melihat itu, ada tarik menarik masalah, mana saja yang dihapus, mana kegiatan yang overlapping antara hulu dan hilir. Mana yang masih perlu dibuatkan norma-norma yang baru,” tegasnya.
Oleh karena itu, dia berkesimpulan jika revisi UU Migas ini tidak terlalu kompleks. Namun, lanjutnya, jangan lagi melakukan perubahan arsitektur atau konstruksi UU karena rawan untuk judicial review.
Sumber: MetroTV