Eksplorasi.id – Pakar sosial politik Universitas Indonesia Dr Mahmud Syaltout mengatakan megaproyek pengembangan gas Masela di Maluku Tenggara Barat, Maluku dengan skema darat (onshore) bakal menghadapi permasalahan lahan yang cukup sulit.
“Tanah di sana (Maluku Tenggara Barat) terkait nama keluarga. Tanah tidak diperjualbelikan. Kalau jual tanah berarti jual keluarga. Bagaimana bisa kita menjual keluarga?” katanya di Jakarta, Kamis (16/06).
Bahkan, lanjut dosen FSIP UI yang pernah selama satu tahun (2013-2014) meneliti kondisi masyarakat Maluku Tenggara Barat, untuk memutuskan persoalan penting termasuk lahan, masyarakat setempat harus melalui ritual persetujuan terlebih dahulu kepada leluhur dengan cara menanyakan secara langsung ke tengkorak manusia.
Belum lagi, tambahnya, sebagian lahan sudah dikuasai pemilik modal, baik lokal maupun nasional yang tentunya akan makin mempersulit pembebasannya.
Dengan kondisi-kondisi yang kompleks tersebut, menurut dia, proses pembebasan lahan proyek Masela diperkirakan bakal memerlukan waktu cukup lama.
“Proyek Masela dengan skema darat ini membutuhkan lahan cukup luas hingga ratusan hektare dan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kompleks, sehingga waktu pembebasannya pasti bakal lama lagi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Syaltout menyarankan pihak terkait khususnya pemerintah daerah termasuk operator Masela, Inpex Masela Ltd sebaiknya memakai pendekatan multidimensi dalam proses pembebasan lahannya.
Sementara itu, Juru Bicara Inpex Masela Ltd Usman Slamet mengatakan, pengerjaan Masela dengan konsep darat bakal menghadapi risiko multidimensi jika dibandingkan skenario laut (offshore).
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar proyek Masela berjalan dengan baik.
Kondisi tertentu tersebut, lanjutnya, menyangkut sejumlah aspek komersial lapangan termasuk kepastian jangka waktu kontrak, yang mesti dipenuhi pemerintah, agar proyek Masela menjadi ekonomis.
Kedua, Inpex juga membutuhkan jaminan proses seperti pembebasan lahan yang mesti berlangsung tepat waktu.
“Kami minta jaminan jangka waktu pembebasan lahan bisa sesuai UU tentang Pembebasan Lahan, sehingga waktunya lebih pasti,” ujarnya.
Usman juga mengatakan, dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada Selasa (14/6), pihaknya sudah menyampaikan perlunya pemerintah memenuhi kondisi-kondisi tertentu tersebut agar proyek Masela dengan skema darat bisa berjalan.
“Saat pertemuan itu, respons Presiden adalah bisa memahami dan meminta kami membicarakan hal tersebut dengan Kementerian ESDM,” katanya.
Saat ini, lanjutnya, pihaknya masih menunggu pembahasannya dengan Kementerian ESDM.
Usman berharap, pembahasan kondisi-kondisi tertentu itu bisa selesai pada 2016, sehingga pihaknya bisa memulai penyusunan dokumen rencana pengembangan (plan of development/POD) pada awal 2017.
“Normalnya POD disusun selama dua tahun atau kami harapkan bisa diselesaikan dan diajukan pada awal 2019. Namun, kami berupaya lebih cepat lagi,” ujarnya.
Pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo mengumumkan pengembangan Blok Masela dilakukan secara darat (onshore), berbeda dari skema pengembangan yang sudah disetujui pada Desember 2010 melalui skema laut (offshore).
Pengumuman tersebut sebagai jawaban atas usulan revisi POD untuk meningkatkan kapasitas kilang terapung (floating liquified natural gas/FLNG) menjadi 7,5 juta ton per tahun (metric ton per annum/MTPA) dari sebelumnya 2,5 MTPA ke SKK Migas.
Inpex dan Shell sebagai kontraktor mengusulkan perubahan tersebut karena adanya temuan cadangan yang lebih besar menjadi sekitar 10,7 TCF.
Persetujuan atas pengembangan Blok Masela pada POD sebelumnya mengikat pemerintah untuk menjamin semua biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor dapat dikembalikan sesuai skema cost recovery.
Eksplorasi / TN