Eksplorasi.id – Pemerintah daerah di Nusa Tenggara Timur seharusnya melarang penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi bagi kendaraan dari Timor Leste, tetapi memberlakukan tarif khusus bagi kendaraan dari luar negeri yang mengisi BBM di Indonesia.
“BBM Bersubsidi hanya untuk rakyat Indonesia yang tidak mampu, jika hal ini dinikmati juga oleh warga negara asing, rasanya tidak adil juga,” kata pengamat hukum ekonomi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Sukardan Aloysius di Kupang, Rabu (22/06).
Mantan Dekan Fakultas Hukum Undana Kupang itu berpendapat, pemerintah Indonesia perlu segera membuat sebuah regulasi yang mengatur khusus tentang pemanfaatan BBM bagi kendaraan dari luar negeri, khususnya dari Timor Leste.
Menurut dia, regulasi ini amat sangat penting agar BBM yang disubsidi pemerintah Indonesia untuk rakyatnya yang kurang mampu, dinikmati juga oleh warga negara lain.
“Lihat saja, kendaraan dari Timor Leste dengan seenaknya mengisi BBM di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang ada di NTT, mulai dari Atambua sampai Kupang dengan harga yang sama,” ujarnya.
Sementara harga BBM khusus premium di Timor Leste mencapai 1,4 dolar AS atau setara dengan Rp13.400/liter, sedang yang dijual eceran sepanjang ruas jalan dari pintu perbatasan Batugade mencapai dua dolar AS atau sekitar Rp26.800 per botol jenever.
Melihat fenomena tersebut, Sukardan berpendapat harus ada regulasi khusus dari negara yang mengatur tentang penggunaan BBM bagi kendaraan dari luar negeri, agar BBM Bersubsidi yang bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia yang kurang mampu.
“Kendaraan dari Timor Leste harus diberi tarif khusus saat mengisi BBM di setiap SPBU yang ada di Atambua (Kabupaten Belu), Betun (Kabupaten Malaka), Kefamenanu (Kabupaten Timor Tengah Utara), Niki-Niki dan SoE di Kabupaten Timor Tengah Selatan serta Kupang,” katanya.
Ia menambahkan jika belum ada regulasi dari negara yang mengatur soal pengisian BBM bagi kendaraan dari luar negeri, khususnya dari Timor Leste, mungkin pemerintah daerah di NTT bisa membuat kebijakan sendiri bagi kendaraan dari Timor Leste, misalnya hanya mengisi BBM jenis Pertamax atau jenis lain yang tidak bersubsidi.
Pembuatan aturan yang membedakan pembelian BBM tersebut bukan berarti bahwa Pemerintah Indonesia mendiskriminasikan WNA, tetapi hal tersebut bertujuan untuk memberikan apa yang harus diberikan kepada masyarakat kecil.
Ia juga mengkhawatirkan jika ada modus lain dibalik pengisian BBM bersubsidi di wilayah perbatasan Indonesia seperti Atambua, mengingat harga BBM di negara baru tersebut sangat mahal.
Hal tersebut juga menurut Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr Thomas Ola Langodai, harus ada aturan terkait berapa liter yang harus diisi oleh WNA, khususnya warga Timor Leste yang membeli BBM di Indonesia.
“Yang harus dicurigai adalah jika mereka yang membeli BBM subsidi kita dengan jumlah yang banyak dan berjerigen-jeringan. Tetapi kalau hanya sekedar masuk ke wilayah kita dan membelinya saya rasa tidak perlu membuat undang-undang khusus,” ujarnya.
Sebab, menurutnya hal tersebut akan mendiskriminasikan WNA yang datang ke Indonesia dan kemudian akan memperburuk hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara separuh Pulau Timor itu. (Eksplorasi/Ant/Top)