Eksplorasi.id – Pernyataan Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar yang menyebut akan memangkas komponen cost recovery untuk proyek Blok East Natuna dan Masela menimbulkan tanda tanya.
Haposan Napitupulu, praktisi migas yang juga mantan Deputi Perencanaan BP Migas, berkomentar, bagaimana mungkin cost recovery untuk kedua blok tersebut dipangkas sementara ada berbagai persoalan yang belum selesai.
Misalnya terkait tanda tangan kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC) di Blok East Natuna yang belum ditandatangani. “PSC saja belum ditandatangan bagaimana mau bicara soal cost recovery,” kata dia kepada Eksplorasi.id melalui hubungan telepon, Selasa (18/10).
Kemudian, lanjut dia, terkait Blok Masela hingga kini pun belum ada rencana pengembangan (Plan of Development/ PoD) yang disetujui pemerintah. “PoD yang menginfokan perhitungan biaya saja belum ada apalagi berproduksi. Cost recovery itu terjadi kalau bloknya sudah berproduksi,” jelas dia.
Haposan mengungkapkan, selama ini ada kekeliruan menyangkut apa itu definisi cost recovery. Sebenarnya, jelas dia, cost recovery itu adalah investasi. “Jadi, semakin cost recovery dipotong maka itu sama juga membatasi eksplorasi. Ini berdampak pada penemuan cadangan baru juga akan semakin sedikit,” ungkap dia.
Dia menambahkan, perlu ada kesepakatan bersama dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan cost revovery. Berdasarkan pengetahuan dirinya, negara tidak pernah langsung mengeluarkan anggaran yang terkait dengan cost recovery. Haposan lalu memberikan sebuah ilustrasi terkait cost recovery.
Misalnya ada kontraktor migas mengeluarkan dana USD 100 juta untuk melakukan eksplorasi. Setelah berproduksi, terang dia, lalu si kontraktor migas itu bisa menjual produksi migasnya senilai USD 500 juta. “Nah dari hasil USD 500 juta itu baru dikurangi USD 100 yang untuk cost recovery,” katanya.
Sisa USD 400 juta itu yang kemudian dibagi dengan pemerintah atau istilahnya equity to be split (hasil produksi yang tersedia untuk dibagi alias lifting). Haposan menegaskan, banyak pihak keliru dalam memahami arti dari pengembalian biaya operasi atau yang dikenal cost recovery oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Perlu diketahui, bisnis migas tidak semata murni bisnis korporasi swasta, sehingga biaya operasi tidak perlu diganti. Pemahaman ini sangat keliru karena sesungguhnya bisnis hulu migas adalah proyek negara, sedangkan perusahaan-perusahaan itu hanyalah kontraktor negara yang bekerja mencari dan memproduksi migas untuk dan atas nama negara.
“Dalam bisnis hulu migas, cost recovery hanya dilakukan bila cadangan migas yang ditemukan ekonomis. Bila tidak menemukan cadangan yang ekonomis, tidak akan bisa di-recovery (dikembalikan). Mekanisme ini sesungguhnya membantu membebaskan pemerintah dari risiko besar pada tahapan eksplorasi,” jelasnya.
Terkait pertanyaan kenapa cost recovery meningkat sementara produksi migas menurun? Haposan memberikan jawaban bahwa ini terkait karakteristik bisnis hulu migas. “Perlu diketahui, pada bisnis hulu migas, pengembalian biaya pada tahun ini tidak akan diikuti dengan kenaikan produksi pada tahun yang sama,” ujarnya.
Alasannya, karena biaya yang digantikan adalah termasuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelum terjadinya kegiatan produksi dan penjualan migas.
Meskipun lapangan sudah memasuki fase produksi, lanjut Haposan, pengeluaran investasi untuk meningkatkan produksi pada lapangan itu tidak serta merta berujung pada naiknya produksi pada tahun berjalan, karena butuh waktu untuk melakukan pengeboran, membangun fasilitas, dan lain-lain.
“Di samping itu, fasilitas produksi yang sudah ada tetap memerlukan biaya perawatan untuk mempertahankan kinerjanya, sementara di sisi lain sudah menjadi sifat alami bahwa produksi pada lapangan-lapangan migas yang tua akan terus menurun. Jadi ada lag time atau perbedaan waktu antara pengeluaran untuk membiayai operasional dan terjadinya produksi migas,” kata dia.
Reporter : Ponco S
Comments 1