Eksplorasi.id – Peningkatan pemanfatan panas bumi saat ini masih tergantung pada besaran biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Pengamat energi Iwa Garniwa mengatakan, rencana akuisisi 50 persen saham PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) oleh PT PLN (Persero) tidak serta merta menjamin pemanfatan panas bumi akan meningkat.
“Pemanfatan panas bumi masih bergantung pada besaran BPP-nya,” kata guru besar Universitas Indonesia (UI) ini, di Jakarta, Rabu (24/8).
Dia menambahkan, listrik dari panas bumi hanya bisa digunakan sebagai beban dasar, sehingga besaran BPP-nya harus bisa bersaing dengan pembangkit khususnya berbahan bakar batubara (PLTU) yang murah.
Di satu sisi, meskipun pengembangan panas bumi memeroleh keistimewaan dibandingkan energi lainnya karena merupakan energi terbarukan dan menjadi amanah dari regulasi, namun masih belum cukup bersaing dengan PLTU.
Oleh karena itu, menurut Iwa, untuk meningkatkan pemanfaatan panas bumi tiada lain dengan instrumen regulasi, sehingga target kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dari pemerintah sebesar 7.000 MW pada 2015 akan tercapai.
Saat ini, kapasitas terpasang PLTP hanya 1.500 MW atau masih kurang cukup besar yakni 5.500 MW untuk mencapai target 7.000 MW sampai 2025. “Kalau hanya mengandalkan pengembangan panas bumi secara alami, maka akan sulit,” ujarnya.
Salah satu regulasi yang dibutuhkan, kata Iwa, adalah BPP listrik geotermal mesti memeroleh subsidi pemerintah. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga mengatakan, pemerintah sebaiknya mengatasi persoalan harga listrik PLTP dibandingkan sibuk mengurusi akusisi PGE-PLN.
Menurut dia, akuisisi PGE oleh PLN tidak berdampak positif bagi pengembangan panas bumi di Indonesia. Dia menambahkan, sebenarnya skema harga plafon (ceiling price) energi terbarukan termasuk panas bumi sudah merupakan opsi terbaik bagi pengembang.
Namun, memang sejauh ini masih terkendala negosiasi harga dengan PLN selaku pembeli tunggal (off taker). “Saya kira, yang perlu dilakukan oleh pemerintah, karena PLN pembeli tunggal, maka PLN harus mau membeli harga listrik panas bumi itu,” imbuhnya.
Meski, ia memahami, PLN juga dibebani tugas membangun jaringan listrik, yang juga menjadi salah satu persoalan pemanfatan panas bumi.
“Oleh karena itu, menurut saya, selama pemerintah memberikan subsidi untuk membayar selisih harga antara energi terbarukan dan biaya produksi rata-rata PLN, maka seharusnya PLN tidak keberatan. Walaupun aspek-aspek keandalan listrik dari IPP (pengembang listrik swasta) itu juga perlu ditetapkan,” jelasnya.
PLN berencana mengakuisisi 50 persen saham PGE, yang merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero), dengan tujuan mempercepat pemanfaatan panas bumi. Target pemerintah, pada akhir 2016, penggabungan PGE-PLN tersebut selesai.
Reporter : Ponco Sulaksono