Eksplorasi.id – Direktur Esekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, banyak jalan untuk mengefisienkan kilang OLNG Masela, selain memberikan opsi insentif di luar akal sehat kepada Inpex dan Shell.
“Misalnya dengan mengoptimalkan pemanfaatan sebagian besar fasilitas kilang LNG Arun dan LNG Bontang yang masih sangat layak digunakan dengan metode rekondisi dan upgrade. Hal seperti ini sudah dilakukan dibanyak tempat dalam membangun kilang minyak dan Gas untuk meningkatkan keekonomian kilang yang efisien, khususnya untuk kilang OLNG Masela,” kata Yusri kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Rabu (30/3).
Dia menjelaskan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa usulan rencana pengembangan (plan of development/ PoD) dalam proposal Inpex dan Shell untuk kilang FLNG atau OLNG Masela untuk membuat FPSO adalah seharga USD 4,8 miliar.
“Nah kalau FPSO tersebut dibuat dengan konsep leasing, sudah tentu akan memangkas banyak belanja modal (capital expenditure/ capex) sebesar USD 4, 8 miliar menjadi biaya operasional (operational expenditure/ opex). Sedangkan biaya opex di cost recovery basisnya per tahun, dan tentu sangat bagus untuk keekonomian proyek Masela,” jelas Yusri.
Di satu sisi, Yusri menambahkan, persoalan lahan di darat untuk lokasi kilang yang disinyalir telah dikuasai oleh spekulan tanah yang bisa menjadi kendala menghambat jadwal proyek, solusinya adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang sangat layak ditinjau dari aspek teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan.
“Opsi lokasi kilang OLNG di Pulau Selaru yang berjarak sekitar 120 km dari Blok Masela yaitu lahan bekas lapangan terbang bekas tentara Jepang yang saat ini di bawah kekuasan Mabes TNI. Sehingga untuk kepentingan umum, lahan bisa digunakan sebagai penyertaan pemerintah dalam mengurangi capex proyek dan meningkatkan IRR kilang OLNG Masela. Sedangkan lahan untuk kepentingan TNI dapat dicarikan lokasi baru yang berdekatan untuk bisa menjaga keberlangsungan industri migas yang vital ini,” jelas dia.
Yusri menegaskan, satu hal yang harus sangat disadari oleh pejabat pejabat migas di Tanah Air bahwa sesungguhnya budaya bisnis Inpex seperti pedagang besar. “Karena mereka belum punya budaya sebagai operator lapangan migas, sehingga sangat rumit dalam negosiasi dengan mereka, padahal itu pula kelemahan kita,” terangnya.
Dia mengungkapkan, Inpex memiliki saham dibanyak perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Kalau dikumpulkan, imbuh Yusri, produksi migas di Indonesia yang menjadi bagian Inpex adalah terbesar di Indonesia.
“Mereka (Inpex) berencana menguasai LNG di Asia . Oleh sebab itu sekarang mereka sudah menguasai beberapa lapangan gas di Indonsia dan Australia. Kalau semua lapangan gas tersebut sudah berproduksi, maka mereka yang akan menguasai harga LNG di Asia,” kata dia,
Yusri berkomentar, jangan heran kalau di banyak media internaional Inpex harus sering membuat artikel yang bagus perihal kinerja perusahaan. Gunanya untuk menaikan harga saham perseroan.
“Pola bisnis saham ini lebih menguntungkan buat Inpex daripada sebagai operator migas. Namun, Inpex harus mengemban misi Jepang untuk menjaga ketahanan energinya,” ujar dia.
Dia menegaskan, semestinya SKK Migas juga harus memiliki rasa dan niat yang sama untuk menjaga ketahanan energi di Indonesia, bukan malah bersikap berlebih dengan membela kontraktor asing.
“Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk serius mengamankan pemasukan sebesar besarnya untuk negara dan menjaga ketahanan energi nasional,” katanya.
Di satu sisi, pendapat Yusri, suatu hal yang harus dikaji dalam perspektif undang-undang dan bisnis, apakah pantas pembangunan kilang LNG ini dikategorikan aktifitas hulu?
“Bukankah pembangunan kilang LNG sudah masuk wilayah hilir. Sehingga dituntut kehati-hatian dan ketelitian pejabat sektor migas dalam memastikan batasan aktifitas hulu dan hilir di custody meter sesuai UU dan peraturan pemerintah serta peraturan lainnya terkait biaya yang dapat dibayarkan melalui mekanisme cost recovery,” ungkapnya.
Eksplorasi | Ponco