Eksplorasi.id – Kontrak Blok Corridor akan berakhir pada 19 Desember 2023. Blok yang dikelola oleh ConocoPhillips (COPI) ini merupakan salah satu tulang punggung penyuplai gas untuk industri dan listrik, termasuk untuk ekspor.
Berdasarkan catatan WoodMac (2017), cadangan yang masih tersisa (proven reserves) di blok tersebut mencapai sebesar 2,52 TCF gas dan 17 juta barel kondensat.
Jika memasukkan cadangan potensial (probable reserves), blok ini masih menyimpan kekayaan 6,86 TCF gas, 39 juta barel minyak dan 58 juta barel kondensat.
Hingga April 2019, produksi gas Lapangan Grissik, Blok Corridor, mencapai 1.028 mmscfd (1 BCF per hari). Sedangkan lifting gas sebesar 834 mmscfd atau mencapai 103% dari target tahun ini sebesar 810 mmscfd.
Ketua Serikat Pekerja Pertamina Hulu Energi (PHE) Casdira mengatakan, melihat potensi yang masih sangat menarik, wajar jika banyak yang minat untuk mengelola blok tersebut.
Berdasarkan catatan dia, terdapat tiga perusahaan yang berminat mengelola Blok Corridor pascakontrak berakhir, yaitu ConocoPhillips, Repsol dan Pertamina.
“Ketiga kontraktor itu merupakan pengelola Blok Corridor saat ini. ConocoPhillips menjadi operator dengan hak partisipasi (participating interest) 54 persen, Pertamina 10 persen dan Repsol Energy 36 persen. ConocoPhilips mulai mengelola blok tersebut sejak 2002 setelah mengakuisisi Gulf Resources.
“Pertamina juga sudah mengajukan proposal untuk mengelola Blok Corridor. Lantas apakah pengelolaan blok tersebut akan beralih ke Pertamina pasca 2023?” kata dia dalam keterangan pers tertulis yang dikirim ke redaksi Eksplorasi.id, Jumat (19/7).
Menurut dia, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah memberikan sinyal positif kepada kontraktor eksisting untuk kembali mengelola blok yang ada di Sumatera Selatan tersebut.
“Kementerian ESDM menyatakan bahwa pengelolaan Blok Corridor oleh ConocoPhillips masih menjadi prioritas. Keputusan terkait alih kelola Blok Corridor akan segera diputuskan,” ungkap dia.
Casdira menegaskan, terkait isu alih kelola wilayah kerja Corridor pascaterminasi, pada 27 Desember 2018 lalu, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sudah mendesak pemerintah untuk memberikan 100 persen hak pengelolaan Blok Corridor kepada PT Pertamina (Persero).
Presiden FSPPB Arie Gumilar pernah berkomentar, seharusnya blok migas tersebut diberikan pada Pertamina, sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33.
Blok migas yang berada di Sumatera Selata itu dinilai sangat vital bagi Pertamina, terutama untuk integrasi dengan Blok Rokan dan Kilang Dumai.
Arie menerangkan, apabila pemerintah menunjuk ConocoPhillips sebagai operator, maka keputusan tersebut tidak sejalan dengan amanat hasil judicial review Permen ESDM No 23/2018 di Mahkamah Agung, di mana Pertamina kembali diberikan prioritas utama untuk pengelolaan blok-blok terminasi.
“Serikat Pekerja PHE mendukung pemerintah untuk menyerahkan pengelaan Blok Corridor kepada Pertamina-pasca 2023, seperti halnya Blok Mahakam (mulai 2017) dan Blok Rokan (mulai 2021),” ujar Casdira.
Aada sejumlah alasan mengapa blok itu harus diserahkan ke Pertamina menurut versi Serikat Pekerja PHE. Pertama, untuk meningkatkan peran national oil company (NOC) di dalam pengelolaan migas nasional.
Dia mencontohkan, masuknya Blok Mahakam, pada 2018 kontribusi Pertamina dalam produksi minyak nasional meningkat dari 23 persen menjadi 36 persen.
Kemudian, ditambah masuknya produksi Blok Rokan mulai 2021, kontribusi Pertamina akan meningkat signifikan menjadi 60 persen produksi migas nasional.
“Pertamina akan melampaui Petronas yang saat ini berkontribusi 50 persen terhadap produksi domestik Malaysia. Sebagai perbandingan, Statoil Norwegia 62 persen, Algeria 78 persen, Petrobas Brazil 82 persen, NOC China 93 persen, dan Saudi Aramco Arab Saudi hampir 100 persen,” jelas dia.
Alasan kedua, Mahkamah Agung sudah menetapkan pembatalan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 23/2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya.
Keputusan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012, yang mengamanatkan bahwa wilayah kerja migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara, dalam hal ini Pertamina.
Ketiga, Pertamina adalah BUMN, yang berarti 100 persen keuntungan akan masuk ke negara (kantong kanan-kantong kiri). Keempat, sebagai perusahaan negara, seluruh produksi migas yang dihasilkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, atau sebanyak yang bisa diserap oleh pasar domestik.
“Termasuk yang menjadi entitlement KKKS. Di samping itu, dengan dikelola Pertamina dan dengan berlakunya skema gross split, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) juga dapat ditingkatkan secara signifikan,” ujar Casdira.
Alasan kelima, Pertamina sudah terbukti dan berpengalaman mengelola blok di onshore maupun offshore hasil alih kelola sebelumnya, semisal ONWJ, WMO, Mahakam dan SES, bahkan meningkatkan produksi migas di blok tersebut.
Penjelasan Casdira, Blok Corridor merupakan blok migas onshore yang sudah mature dan relatif berisiko rendah (low risk). Oleh karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran akan terjadi penurunan kinerja operasi termasuk penurunan produksi.
Menurutnya, penurunan produksi sesaat setelah alih kelola bisa terjadi karena faktor penurunan alamiah (natural decline) atau proses persiapan alih kelola yang kurang matang.
Casdira berkomentar, Serikat Pekerja PHE mendesak pemerintah agar menetapkan pengelolaan Blok Corridor 100 persen kepada Pertamina.
Kemudian, mempercepat proses penandatanganan kontrak PSC Blok Corridor kepada Pertamina, agar ada proses transisi sekitar tiga tahun, sehingga proses alih kelola blok terminasi ini berjalan lancar serta dapat menjaga keberlangsungan kegiatan operasi-produksi.
Berikutnya, Pertamina secepatnya menyiapkan proses alih kelola Blok Corridor, berkordinasi dengan SKK Migas, operator eksisting dan pihak-pihak terkait lainnya, termasuk membentuk tim transisi yang terlibat dalam penyusunan work program & budget (WP&B) Blok Corridor menjelang proses terminasi.
Lalu, pemerintah dapat memberikan hak partisipasi (Participating Interest/PI) pengelolaan blok-blok migas tersebut kepada daerah terkait (10 persen) sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selanjutnya, untuk mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaan negara, dimungkinkan adanya keterlibatan investor, termasuk operator eksisting Blok Corridor melalui mekanisme farm in secara business to business (B to B) untuk meningkatkan kapasitas pendanaan, kemampuan teknologi dan risk sharing.
Reporter: Sam.