Tamasya.id – Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar dialog mengenai pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu yang dihadiri Bupati Abdullah Azwar Anas bersama dengan ratusan warga di Lapangan Sumbermulyo, Jumat (25/3).
Anas menjelaskan, pihaknya sengaja menggelar dialog di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, yang dekat dengan lokasi tambang untuk mendengar dari dekat aspirasi masyarakat. Ratusan warga itu berasal dari Desa Pancer, Sumberagung, dan Ringintelu.
Bupati menjelaskan rinci bagaimana proses munculnya pertambangan di daerah itu eksplorasinya sudah dimulai sejak tahun 1991 sampai 1994 oleh PT Gamasiantara (Golden Eagle Indonesia), lalu dilanjutkan oleh Korea Toosun Holding dari 1994 sampai 1997.
Kemudian dilakukan oleh Golden Valley Mines (1997), Placer Dome (1999-2000) dan Hakman Group JV Pada 2006, PT Indo Multi Cipta (IMC) yang selanjutnya berubah nama menjadi PT Indo Multi Niaga (IMN) melanjutkan kegiatan eksplorasi.
Proses perizinan yang dilakukan sudah cukup panjang, tercatat sejak 2006 sudah terbit Surat Keterangan Izin Peninjauan (SKIP) dan Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum kepada PT IMC dan selanjutnya pada 2007 terbit Kuasa Pertambangan Eksplorasi atas nama PT IMN yang selanjutnya pada 2008 terbit Kuasa Pertambangan Eksploitasi.
Menurut Anas, pada 2010 seiring dengan diberlakukannya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, KP Eksploitasi PT IMN disesuaikan bentuknya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Lalu pada 2012, IMN mengajukan pemindahan IUP ke PT Bumi Suksesindo (BSI) hingga saat ini.
Anas menjelaskan, sejak awal menjabat Bupati pada 20 Oktober 2010 telah terdapat 137 tahapan proses yang diajukan ke pemda terkait perizinan tambang. Anas mencermati detail dan menemukan fakta bahwa tidak ada satu pun kerangka kerja yang ada bisa menguntungkan masyarakat Banyuwangi.
Saat itu juga Anas dihadapkan pada pilihan tuntutan untuk menutup tambang atau terus melanjutkannya karena perizinan tambang telah berjalan sejak dia belum menjabat.
“Selama sekitar 1,5 tahun saya tidak mau menemui PT IMN, pengelola tambang saat itu. Selama itu pula saya tidak menandatangani RKP (rencana kerja perusahaan). Saya putuskan saya harus mencari benchmark, bertanya ke para ahli, hingga berkonsultasi ke sejumlah kepala daerah tentang pengelolaan tambang di wilayahnya,” ujar Anas.
Dalam jeda itu, lanjut Anas, Pemkab Banyuwangi lalu berikhtiar untuk meningkatkan kemanfaatan tambang bagi warga Banyuwangi. Anas belajar dari praktik-praktik yang telah berjalan.
“Adanya contoh dari Kutai Timur yang bupatinya sepihak menutup tambang, masalahnya justru berlarut-larut. Bupatinya digugat hingga ke arbitrase internasional, dan sampai sekarang masih gantung. Sehingga solusi yang ini saya hindari, karena ongkosnya tinggi,” ujar Anas.
Ia lalu belajar dari Bupati Sumbawa Barat dimana pemda setempat bisa mendapatkan saham, yang bisa dipergunakan untuk pembangunan daerah.
Terilhami skema ini, Anas lalu meminta renegoisasi kepada pengelola tambang. “Dari 40 IUP yang diajukan pengelola, tidak ada yang menguntungkan pemda. Maka kami pun melakukan renegoisasi dengan bantuan konsultan dari Bahana Sekuritas,” ujar Anas.
Bahana Sekuritas adalah lembaga konsultan keuangan dan pasar modal milik negara (BUMN). Dari pertemuan dan negosiasi hingga belasan kali, muncullah ide golden share. Pemkab Banyuwangi lalu mendapat golden share dihitung dari total modal disetor buat mengelola tambang. Banyuwangi mendapat saham tanpa mengeluarkan uang.
“Ini yang pertama di Indonesia. Prinsip yang kami anut, bila tidak bisa mendapatkan semuanya, maka dapatkan sebagian. Nanti keuntungan dari tambang bisa digunakan Pemkab Banyuwangi untuk membiayai anak-anak muda Banyuwangi sekolah hingga ke luar negeri, membangun jalan, menyediakan fasilitas kesehatan, dan sebagainya,” ujar Anas.
Ia menegaskan, keuntungan yang dirasakan Banyuwangi dari kepemilikan saham di tambang tersebut baru akan dirasakan empat atau lima tahun mendatang ketika tambang sudah benar-benar berproduksi.
“Saat keuntungan itu mengalir ke Pemkab Banyuwangi, saya sudah tidak jadi bupati. Artinya apa? Artinya kami sekarang berpikir untuk pembangunan bertahun-tahun ke depan, bukan berpikir sekarang,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Anas juga menegaskan, dalam proses pengelolaan tambang, pemerintah daerah mewajibkan perusahaan untuk mengelola limbah sebaik mungkin. Sehingga akhirnya diputuskan penggunaan metode penambangan heapleaching. Sejumlah warga pun sudah diajak melihat metode tersebut di PT J-Resources Bolaang Mongondow (JRBM) yang ada di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Dalam sistem tersebut, limbah tidak dibuang ke laut, namun diproses sedemikian rupa sehingga aman bagi alam. “Rakyat tidak boleh dirugikan karena limbah tambang,” tegas Anas.
Konsultan BSI Dr Ir Arief Armansyah yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, jenis pertambangan di Tumpang Pitu terkategori pertambangan epitermal sehingga tidak ada tailing yang membahayakan. “Tumpang Pitu itu jenis epitermal, sehingga tidak akan ada tailingnya,” papar Arief.
Dalam kesempatan tersebut, warga juga diberi kesempatan untuk bertanya terkait dengan beragam persoalan yang berkaitan dengan tambang. Subur, salah satu warga mempertanyakan tentang pengelolaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT BSI.
Terkait dengan hal tersebut, Anas menegaskan terus mendorong PT BSI untuk menggunakan dana CSR sebaik mungkin guna meningkatkan kesejahteraan dan SDM masyarakat sekitar areal pertambangan.
“Kami terus mendorong BSI untuk memberi beasiswa untuk anak-anak sekitar tambang agar bisa sekolah di SMK Pertambangan. Agar kelak Tumpang Pitu ini dikelola langsung oleh warga asli,” kata Anas.
Dalam dialog tersebut, Anas juga menerangkan beberapa proses perizinan yang tidak semuanya ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Proses izin amdal oleh provinsi, tukar guling lahan ditangani Perhutani, tata ruang wilayah yang diurus oleh pemerintah provinsi dan pusat, serta berbagai proses perizinan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
“Peranan Banyuwangi ini sebenarnya kecil, namun kami terus mendorong bagaimana pemerintah pusat maupun provinsi ini bisa mengeluarkan kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyat semua,” katanya.
Anas sengaja menggelar dialog terbuka tersebut agar keran komunikasi antara pemerintah dan warga yang tersumbat dalam beberapa waktu bisa segera teratasi. “Kita sengaja menggelar dialog ini agar kita bisa mengetahui apa sebenarnya yang dikeluhkan dan kita bisa memetakan dan mencari solusinya,” katanya.
Dialog tentang permasalahan Tumpang Pitu ini juga akan kembali digelar Sabtu (26/3) pagi melalui siaran langsung interaktif di semua stasiun radio di Kabupaten Banyuwangi. Warga bisa langsung bertanya kepada Bupati Anas dalam siaran tersebut.
Eksplorasi | Antara | Ponco