Eksplorasi.id – Penentuan formula harga minyak mentah nasional (Indonesia Crude Price/ ICP) yang saat ini mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No 23/2012 tentang Tata Cara Penetapan Metodologi dan Formula Harga Minyak Mentah Indonesia oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dinilai sudah tepat.
“Persoalannya adalah implementasi di lapangan. Banyak yang melanggar Permen ESDM tersebut. Contoh kasusnya dalam penentuan harga jual minyak mentah bagian negara di Banyu Urip, Blok Cepu yang dijual ke PT Tri Wahana Universal (TWU),” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Selasa (21/6).
Yusri menjelaskan, pasal 3 ayat (1) regulasi itu menyebutkan, metodologi penetapan formula minyak mentah Indonesia menggunakan metode benchmarking (a) dan/ atau indeksasi (b). “Ini sudah benar, di mana ada bechmarking dan indeksasinya,” jelas dia.
Kemudian, lanjut dia, hal itu semakin dipertegas di ayat (2) dan (3), masih di dalam pasal 3. Ayat (2) pasal 3 berbunyi; Metode benchmarking sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada Harga Minyak Mentah Indonesia yang diperdagangkan di pasar internasional dan dipublikasikan oleh Publikasi Internasional.
Ayat (3) kemudian mengatakan; Dalam hal tidak ada Harga Minyak Mentah Indonesia yang dapat dijadikan acuan dalam metode benchmarking sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan metode indeksasi terhadap harga minyak mentah internasional dan/ atau produk turunannya yang berkesesuaian.
Menurut Yusri, selama ini dari pihak Kementerian ESDM dan SKK Migas yang terkesan kerap melanggar, ketika akan melakukan penentuan formulasi ICP. “Terkesan memang ICP ini menjadi mainan segelintir orang. Jadi apapun formulasinya kalau masih ada pihak-pihak sontoloyo yang ingin mencari kepentingan pribadi maupun golongan, maka sama saja. Padahal ketika ingin menentukan ICP pun sudah harus ada timnya,” jelas dia.
Mengutip pasal 14 ayat (1) dan (2) terkait formulasi harga minyak mentah nasional di dalam Peraturan Menteri ESDM No 23/2012, imbuh Yusri, jelas disebutkan bahwa formula harga minyak mentah nasional ditetapkan oleh menteri ESDM setelah berkoordinasi dengan menteri Keuangan.
“Pertanyaannya kemudian, apakah selama ini ini menteri ESDM kerap melakukan koordinasi tersebut? Kalau tidak, berarti memang ada yang salah diawal. Kemudian, saat akan menentukan harga pun harus ada Tim Harga yang diketuai dirjen Migas beranggotakan wakil dari Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Badan Pelaksana, dan PT Pertamina (Persero). Ini semua dilaksanakan atau tidak,” ungkap dia.
Kasus TWU
Yusri kemudian memberi contoh pelanggaran harga minyak mentah bagian negara yang secara kasat mata terlihat jelas, yakni kasus pembelian minyak oleh TWU. Seperti diketahui, diduga terjadi manipulasi dalam penentuan ICP jenis Arjuna yang dibeli TWU dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu.
Berdasarkan catatan rapat komersialisasi full scale Lapangan Banyu Urip pada 29 Desember 2014 poin 3, TWU meminta tambahan pasokan minyak mentah sebesar 2.000 barrel oil per day (bopd) dengan pertimbangan secara teknis maupun komersial kilang dengan harga ICP Arjuna –USD 4,76 per barel (pada titik serah TWU).
“Sebelumnya, TWU dan Exxonmobil Cepu Limited (EMCL) telah melakukan pembahasan secara business to business (b to b) terkait pasokan minyak tersebut, namun tidak tercapai kesepakatan. Harga yang diminya TWU sebesar –USD 4,76 per barel, sedangkan harga yang diminta EMCL untuk ICP Arjuna sebesar +USD 2 per barel, berdasarkan estimasi harga jual FSO (Floating Storage and Offloading) untuk menghindari potensi value loss,” ungkap Yusri.
Dia menambahkan, mengutip catatan rapat pada 29 Desember 2014 poin 5, berdasarkan hasil pembahasan rapat terdapat dua usulan opsi agar TWU mendapatkan tambahan pasokan minyak mentah sebanyak 2.000 bopd dari Lapangan Banyu Urip.
Pertama, tambahan pasokan minyak mentah sebanyak 2.000 bopd seluruhnya berasal dari bagian negara dengan harga ICP Arjuna –USD 4,76 per barel. Kedua, tambahan pasokan minyak mentah sebesar 2.000 bopd diambil dari bagian yang saat ini dijual kepada PT Pertamina (Persero) dengan harga ICP Arjuna –USD 4,76 per barel yang berlaku hingga tanggal selesainya penjualan kargo pertama dari FSO Gagak Rimang.
“Pertanyaannya lalu, apakah penentuan harga ICP Arjuna tersebut telah sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No 23/2012, yang pada pasal 4 secara tegas diatur. Kemudian, apakah unsur dari Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) juga ikut hadir dalam menentukan harga minyak mentah Banyu Urip tersebut?” ujar Yusri.
Yusri pun mempertanyakan apakah tim yang sudah bekerja menentukan formula harga jual ICP Arjuna tersebut telah taat dan patuh soal metodologi fomula harga minyak mentah Indonesia, termasuk mempertimbangkan tawaran harga jual minyak mentah milik EMCL kepada TWU?
“Semestinya fungsi staf ISC Pertamina juga bisa memberikan masukkan berapa analisa harga yang paling menguntungkan bagi negara dengan membandingkan harga beli ISC Pertamina untuk kebutuhan kilang Pertamina yang setara dengan crude assay Banyu Urip,” jelas Yusri.
Perlu diketahui, dalam rapat komersialisasi full scale Lapangan Banyu Urip pada 29 Desember 2014 hadir wakil dari Ditjen Migas, SKK Migas, ISC Pertamina, EMCL, dan TWU. Di satu sisi, keputusan EMCL menjual minyak mentah bagian negara dari Lapangan Banyu Urip kepada PT TWU diduga melanggar hukum.
EMCL menjual minyak mentah bagian negara dari Blok Cepu berdasarkan surat BP Migas No 0744/BPB0000/2011/S2 tanggal 18 Juli 2011. “EMCL masih menggunakan produk yang dikeluarkan BP Migas. Padahal, BP Migas telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beserta produk hukum turunannya pada 13 November 2012,” kata Yusri.
Menurut Yusri, EMCL diketahui menjual minyak mentah bagian negara dari Lapangan Banyu Biru kepada PT TWU berdasarkan dokumen surat yang dikeluarkan EMCL pada 8 April 2015 dan 10 April 2015.
Eksplorasi | Heri