Eksplorasi.id – Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menilai tidak masalah jika PT Freeport mengajukan arbitrase, karena posisi pemerintah Indonesia kuat.
“Tidak ada masalah buat kita (Indonesia), sebab dalam aturan terdapat hal yang menjelaskan bahwa PT Freeport dan perusahaan asing lainnya harus mematuhi aturan yang berlaku di pemerintah, tidak bisa asal deal saja dengan pihak tertentu,” kata Dewan Penasihat Peradi Otto Hasibuan, Senin (27/2).
Peradi juga siap membantu pemerintah apabila memang terdapat fakta-fakta dari PT Freeport terhadap pelanggaran lingkungan hidup yang sudah disepakati dalam kontrak.
Untuk itu, Peradi meminta akses informasi dan data terkait PT Freeport kepada Kementerian ESDM untuk mempelajari lebih lanjut kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport.
Dugaan dari Peradi, Freeport telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak kerja sama, khususnya berkaitan dengan lingkungan hidup. Saat ini Peradi sedang mempelajarinya dugaan pelanggaran lingkungan hidup tersebut.
Selain itu dugaan lainnya adalah belum dibangunnya smelter Freeport yang terdapat di Gresik, Jawa Timur. “Kewajibannya belum dilaksanakan, smelter hanya 40 persen saja. Kalau dalam bahasa hukum, jika tidak melakukan kewajiban itu sudah melakukan pelanggaran,” kata Otto.
Selain itu, ia menilai bahwa masyarakat Papua tidak banyak mendapatkan keuntungan dari PT Freeport Indonesia. “Saya kira menjadi pegawai Freeport merupakan hal yang istimewa, ternyata sama saja, gajinya juga cuma UMR, kisaran 3 jutaan, padahal kerjanya berat,” kata mantan pengacara Jessica Wongso kasus pembunuhan dengan racun sianida tersebut.
Otto mengatakan telah mendapatkan informasi bahwa dari sebanyak 12 ribu pegawai Freeport, hanya sebanyak 4 ribu merupakan pegawai lokal, sisanya merupakan tenaga asing. “Pegawai lokal juga levelnya ada pada paling bawah, 8 ribu di antaranya berada pada level menengah ke atas. Selain itu, uangnya juga pasti di bawa ke luar, jadi tidak menguntungkan masyarakat sekitar secara ekonomi,” tutupnya.
Reporter : Samsul