Eksplorasi.id – Kendati peran swasta dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan masih diperlukan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pengelolaan listrik tetap berada di bawah kendali negara.
Presiden menyatakan, pemerintah akan menghormati dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perkara Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun, Presiden menggarisbawahi bahwa pihak swasta diperlukan dalam menyukseskan program pembangunan nasional. “Kita menghormati keputusan MK. Namun, kita harus menyadari bahwa peran swasta dalam membangun infrastruktur terutama dalam pembangunan pembangkit listrik dan kelistrikan itu masih sangat diperlukan,” katanya usai meresmikan pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah tahun emisi 2016, di Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (19/12).
Presiden Jokowi juga memastikan pemerintah akan selalu memperhatikan dan mematuhi amanat UUD 1945.
Menurutnya, upaya ini ditujukan agar dalam kegiatan ketenagalistrikan yang menyangkut kepentingan umum tetap berdasarkan prinsip dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. “Yang penting semuanya harus tetap dalam kendali negara, yaitu di PLN. Jadi ada berbagai peraturan yang membuat negara tetap harus menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan konstitusi kita,” ujar Jokowi.
Walaupun, lanjutnya, saat ini terdapat pembangkit listrik yang dibangun oleh pihak swasta, tapi tetap kendali oleh negara. “Jadi memang ada yang dibangun swasta, ada yang dibangun PLN. Tetapi semuanya dikelola oleh PLN. Jadi swasta tetap berperan, tetapi dalam kendali negara, dalam kendali PLN. Saya kira arahnya ke sana.”
Putusan
Pemerintah menilai putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Ketenagalistrikan tidak berpengaruh terhadap pengerjaan megaproyek 35.000 MW.
Seentara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyatakan Pemerintah sudah patuh terhadap putusan MKtersebut sehingga tidak akan ada perubahan terhadap peraturan menteri ESDM apapun. “Kita sudah comply dengan yang diputuskan MK, kontrol pemerintah masih tetap ada, harga masih tetap ditentukan oleh Pemerintah, izin masih ada di pemerintah. Secara garis besar, sebenarnya kita masih comply dengan MK,” ujarnya.
Arcandra menambahkan hal itu otomatis tidak akan mempengaruhi pengerjaan proyek-proyek 35.000 MW yang sedang atau akan dikerjakan. Kementerian ESDM, lanjutnya, sudah melakukan evaluasi dan tidak memandang perlu ada perubahan beleid di bawah UU Ketenagalistrikan.
“Hal tersebut, juga berlaku untuk PLN. “IPP masih comply, IPP tersebut masih kontrolnya masih di PLN, jadi saya rasa gak masalah,” tambah Jokowi. Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang dimohon Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN),” ujar Arcandra.
Putusan Mahkamah ini menegaskan praktek pemisahan kegiatan usaha dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum harus ditempuh di bawah prinsip dikuasai oleh negara sekalipun penyedia tenaga listrik adalah pihak swasta.
Pasal yang digugat oleh Serikat Pekerja PLN adalah pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan menyatakan, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
Putusan MK terhadap pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, secara bersayarat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang ketenagalistrikan tersebut menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai negara.
Putusan terkait dengan pasal 11 ayat 1 Undang-Undang ketenaga listrikan bertentangan dengan UUD 1945, secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang ketenaga listrikan tersebut dimaknai hilangnya prinsip dikuasai oleh negara.
Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 diajukan karena merasa ketentuan UU Ketenagalistrikan mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Hal ini dinilai mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Ketentuan terkait dengan pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara unbundling, dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat, memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap regional atau wilayah usaha dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta nasional, multinasional maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik.
Hal tersebut menurut pemohon, merupakan pengulangan dari ketentuan dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK dengan Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Reporter : Samsul | Bns