Eksplorasi.id – Revisi Undang-Undang No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) mesti memperkuat peran dan posisi PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan migas milik negara.
Revisi hendaknya kembali menempatkan peran dan posisi Pertamina sesuai dengan hakikat dan tujuan pembentukannya. Latar belakang pendirian Pertamina adalah mengelola wilayah migas di Tanah Air, khususnya blok yang secara teknis dan finansial mampu dikelola mandiri, sehingga terhindar dari dominasi kapitalisme global.
Motif geopolitik, yakni penguasaan dan kedaulatan atas wilayah migas, demi menciptakan ketahanan dan kemandirian energi yang tangguh adalah dasar pemikiran utama di dalam pembentukan dan pendirian perusahaan migas negara.
Hal itu tak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain di dunia, khususnya yang memiliki perusahaan migas negara seperti, Iran, Saudi Arabia, Libya, Meksico, Malaysia, Cina, Vietnam, Venezuela, dan Bolivia.
Pemerintah Indonesia semestinya tak hanya mengejar kesejahteraan ekonomi melalui keuntungan finansial semata dari hasil produksi dan investasi penguasaan blok migas.
Karena yang ingin dicapai sesungguhnya adalah kesejahteraan ekonomi yang berdaulat. Bukan hanya industri migas nasional yang maju, tetapi juga memiliki kedaulatan.
Dua skenario mesti menjadi ketentuan di dalam UU Migas yang baru nantinya. Pertama, kuasa pertambangan yakni hak menambang, mengelola dan mengembangkan wilayah migas di Tanah Air, sepenuhnya kembali diberikan kepada Pertamina di bawah pengawasan menteri ESDM cq dirjen Migas. Dalam skenario tersebut, fungsi dan kedudukan Ditjen Migas harus diperkuat.
Sebagai konsekuensi dari skenario ini, maka keberadaan SKK Migas tidak diperlukan lagi. Skenario kedua adalah, kuasa pertambangan tetap berada di tangan pemerintah, yakni Kementerian ESDM cq Ditjen Migas, tetapi pemerintah wajib memberikannya terlebih dahulu kepada Pertamina untuk menjalankannya.
Artinya, jika Pertamina tidak berkeinginan ataupun tidak mampu mengelola dan mengusahakan sendiri wilayah yang ada, maka blok tersebut dapat diusahakan pihak lain, tetapi tetap dengan berkontrak usaha dengan perusahaan migas negara yang lain, selain Pertamina.
Dalam skenario itu, perusahaan migas negara yang baru dapat merupakan modifikasi dari SKK Migas. Artinya, SKK Migas dapat diubah statusnya dari badan hukum milik negara menjadi badan usaha milik negara yang khusus menangani kontrak-kontrak pengusahaan wilayah migas non-Pertamina. Model ini mirip dengan yang diterapkan di Norwegia.
Dari kedua skenario tersebut, keberadaan perusahaan migas lain, swasta asing, dan nasional, tetap penting dan diperlukan, yaitu sebagai mitra Pertamina dalam mengelola dan mengembangkan industri migas di Tanah Air.
Persoalan Hulu Hilir
Indonesia sebagai negara yang punya sumber daya migas besar sejatinya mendapat limpahan berkah pendapatan. Apalagi, sampai saat ini, minyak dan gas masih ditempatkan pada posisi yang vital dan strategis dalam pemenuhan sumber energi, penghasil devisa serta bakan baku untuk menjamin kelanjutan perekonomian nasional.
Apa sebenarnya yang salah dari pengelolaan energi di Tanah Air? Indonesia bisa dikatakan merupakan salah satu negara yang ‘beruntung’ karena diberi berkah berupa sumber daya hidrokarbon yang sangat besar.
Indonesia sempat berjaya karena menjadi salah satu negara pengekspor minyak dalam jumlah besar. Sumberdaya dan cadangan terbukti migas Indonesia sebetulnya sangat menjanjikan. Namun, belakangan, produksi migas Indonesia terus turun akibat sedikitnya penemuan akibat lesunya eksplorasi.
Ini juga disebabkan tingginya country risk Indonesia. Lesunya eksplorasi itu disebabkan salah satunya diberlakukannya UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Persoalan migas di sisi hulu, bahwa meski secara geologis dan ekonomis, potensi sektor migas Indonesia masih sangat menarik. Persoalannya, hingga kini belum ada upaya yang kuat untuk meningkatkan eksplorasi dari cadangan-cadangan migas baru.
Kegiatan eksplorasi migas sejak 1999 anjlok. Ini menyebabkan produksi hanya mengandalkan lapangan yang sudah tua. Inilah yang menyebabkan penurunan produksi tidak bisa dibendung.
Rendahnya kegiatan eksplorasi ini diperparah dengan banyaknya ketentuan perundangan yang tidak efisien dan investor friendly. Karena itu, perlu dilakukan beberapa kebijakan di antaranya merevisi UU Migas.
Di sisi lain, ipaya percepatan peningkatan produksi secara teknis juga dapat dilakukan dengan cara menerapkan practical and focus. Sementara itu, untuk non-teknis dapat dilakukan dengan dukungan kebijakan yang optimal.
Lepas dari kemelut di sisi hulu, sejumlah persoalan di sisi hilir juga ada di depan mata. Di sini, pemerintah kembali dinilai tidak memiliki komitmen dalam meletakkan kebijakan energi secara utuh. Kebijakan yang dikeluarkan sejumlah lembaga dan institusi pemerintah justru saling berkompetisi.
Eksplorasi | Heri