Eksplorasi.id – PT Pertamina (Persero) mengimpor minyak mentah (crude oil) Sarir ternyata tidak hanya saat ini saja. Perseroan beberapa tahun yang lalu juga pernah mengimpor minyak serupa dan juga bermasalah.
Data yang dihimpum Eksplorasi.id menunjukkan, Pertamina mengimpor minyak Sarir secara term pada 2007 yang berasal dari NOC Libya. Namun, minyak itu tidak diimpor lagi pada 2008.
Sebelumnya, pada 2006 minyak Sarir juga telah diimpor oleh Pertamina secara term. Impor minyak Sarir pada 2006 dan 2007 dipasok dari Pertamina Energy Services Pte Ltd (PES).
Minyak Sarir yang dibeli oleh Pertamina dari PES dalam kurun 2006 sebanyak lima kargo dengan volume 4.996.679 barel senilai USD 356.617.267,71. Impor dilakukan bulan Mei, Juni, Agustus, dan September 2006 dengan menggunakan kapal Tribuana dan Triwati.
Kemudian, suplai minyak Sarir hanya dilakukan hingga September 2006 dan untuk suplai berikutnya dihentikan berdasarkan surat dari Pertamina No. 2252/E20200/2006-S0 tanggal 31 Agustus 2006.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, saat itu alasan penghentian impor adalah dari hasil pengolahan minyak Sarir diketahui bahwa residu yang dihasilkan sangat tinggi.
“Lalu, untuk mengolah residu tersebut menjadi LSWR (Low Sulphur Waxy Residue) mengalami penurunan, sehingga akan menurunkan tingkat keekonomian hasil pengolaahan, di samping sisa stok atas residu yang ada masih tinggi,” kata dia di Jakarta, Selasa (27/9).
Data lain menunjukkan, namun pada 18 Oktober 2006, dirut Pertamina kala itu yakni Ari Hernanto Soemarno mengeluarkan surat No1204/C0000/2006-S0 yang tidak sejalan dengan kondisi tersebut di atas, di mana dalam surat tersebut Pertamina malah menyatakan kesediaanya untuk membeli minyak Sarir dari NOC Libya melalui Pertamina EP Libya (PEPL) sejumlah 900 ribu bbls.
Dalam pelaksanaanya, pembelian minyak Sarir melalui PEPL tersebut teryata hanya terealisasi sekali pengapalan saja yaitu sejumlah 900 ribu bbls pada awal 2007. Anehnya, tanpa alasan yang jelas, guna memenuhi kontrak term pada 2007 dengan Pertamina, pengadaan minyak Sarir berikutnya dilakukan melalui Petral, dan Petral pun melakukan proses tender yang dimenangkan oleh Concord Energy Pte Ltd.
Di satu sisi, saat itu menurut BPK, pembelian yang tidak dilakukan secara langsung kepada NOC Libya ini akan ada potensi kerugian pada 2007 setidaknya sejumlah USD 1.458.862.
Ironinya, proses pengadaan minyak Sarir ini berlanjut terus sampai dengan kira-kira delapan kargo selama 2007 dan diteruskan sampai dengan 2008, yang semua proses tendernya selalu dimenangkan oleh Concord Energy Pte Ltd secara terus menerus.
Selain impor minyak Sarir, ternyata saat itu Pertamina melalui Petral juga mengimpor minyak mentah Champion. Selama 2007-2008 seluruh pembelianminyak mentah Champion dilakukan oleh Petral kepada Concord Energy Pte Ltd tanpa melalui proses tender sama sekali.
Proses pembelian hanya melalui direct negotiation, padahal minyak mentah Champion tersebut merupakan hasil produksi Brunei Shell Petroleum (BSP).
Jumlah minyak mentah Champion yang sudah disalurkan ke Pertamina melalui Concord Energy Pte Ltd tersebut pada 2007 tidak kurang dari 3 juta ton bbls dan pada 2008 sejumlah 4 jutaan bbls.
Bahkan, data yang diperoleh Eksplorasi.id juga menunjukkan, di awal 2009, sejumlah pejabat Pertamina berangkat ke London untuk merintis kembali pembelian minyak mentah Sarir.
Berdasarkan data tersebut, pada 9 Maret 2009 terjadi pertemuan di Hilton Hotel, Park Lane, London dengan agenda term suplai minyak Libya untuk Pertamina.
Adapun pihak yang mengadakan pertemuan adalah, Sudirman Said mewakili Pertamina kala dia menjabat sebagai VP ISC (Integrated Supply Chain), Johanes Sunarmo (president PES), dan Khaled Nashnush (marketing manager crude oil and natural gas NOC Libya).
Beberapa waktu lalu Eksplorasi.id pernah mengkonfirmasi langsung kepada Ari Hernanto Soemarno. Dia berkomentar, dokumen yang beredar tersebut merupakan untuk teknis pembelian minyak Sarir dari produsennya langsung, yaitu NOC of Libya.
“Itu adalah tindak lanjut dari kesepakatan antara dirut Pertamina (saya waktu itu) dengan chairman dari NOC Libya yang juga menteri Peminyakan Libya waktu itu Sukri Ghanem. Harganya sesuai OSP (Official Selling Price) dari Pemerintah Libya yang ditetapkan per bulan nya, jadi mirip seperti ICP kita di sini,” kata dia kepada Eksplorasi.id.
Ari pun saat itu mengakui bahwa dirinya yang meminta direktur Pengolahan dan ISC untuk menindaklanjuti hal tersebut. Bahkan, lanjut dia, jika diperlukan untuk teknisnya bisa melibatkan Petral/ PES.
“Dengan pembelian langsung ini akan mengeliminasi pembelian yang selama ini melalui trader, dan sejak ISC dibentuk memang pola pembelian langsung dari produsen sangat didorong/ diupayakan,” jelas dia.
Sebelumnya. lanjut dia, hanya ada satu pola pembelian langsung yaitu dengan Saudi Aramco untuk membeli Arabian Light Crude (ALC) yang sudah berlangsung sejak 1999.
Dia pun mengungkapkan bahwa kesepakatan pembelian langsung itu langsung dibatalkan oleh Karen Agustiawan (dirut Pertamina) setelah dirinya diberhentikan.
Ari mengungkapkan, terkait pembelian minyak Sarir dari PEPL pada 2006 hal itu merupakan hal yang berbeda. Dia pun mengakui memang terjadi masalah di internal PEPL, dan memang menjadi penelitian dan dipertanyakan oleh BPK, karena ada kewajiban penyetoran yang tidak dilakukan PEPL.
“Tapi yang mulai pada 2008, makanya saya minta Direktorat Pengolahan untuk ikut teknisnya melihat secara benar kapan Sarir cocoknya dipakai di kilang, karena tergantung dari jenis sweet crude yang dialokasikan oleh BP Migas untuk diolah diolah di kilang Pertamina. Pembelian berdasarkan kesepakatan langsung. Periode 2008 tidak ada kaitan sama sekali dengan yang 2006,” tegas dia.
Ari juga menjelaskan, pembelian minyak Sarir langsung berdasarkan kesepakan langsung dengan NOC Libya baru terlaksana akhir 2009. Pada periode 200, lanjut dia, memang menunjukkan bahwa minyak Sarir dibeli dan melalui pihak ketiga.
“Oleh karenanya kemudian diambil inisiatif untuk diupayakan membeli langsung. Dan saya langsung adakan pendekatan langsung sama chairman/ menteri Perminyakan Libya yang kebetulan saya kenal cukup baik,” ujar dia.
Ari kembali menerangkan, sampai awal 2008, pembelian crude oil dilakukan langsung oleh Direktorat Pengolahan dengan pola spot atau short term contract (tiga bulanan).
Kemudian, setelah ISC terbentuk (sekitar Mei 2008), dilakukan pembenahan dengan antara lain melakukan kontrak jangka panjang ke produsen langsung, seperti ke NOC Libya.
“Sekarang setahu saya ISC berupaya lakukan itu antara lain beli langsung crude Azeri dari Azerbaijan ke national oil company mereka, Socar, dan tidak seperti yang dilakukan sebelumnya, belinya lewat PTT Trading dari Thailand,” jelas dia.
Comments 1