Eksplorasi.id – Tepat sebulan sudah pucuk pimpinan PT Pertamina (Persero) dikendalikan oleh pelaksana tugas. Entah berapa lama lagi situasi ketidakpastian ini terus menyelimuti Pertamina, tidak ada yang tahu, kecuali hanya menteri BUMN dengan presiden dan elite partai berkuasa.
Banyak pekerjaan rumah dan penugasan silih berganti dari pemerintah yang suka atau tidak harus terus dikerjakan oleh segenap pekerja Pertamina.
Sebut saja ada penugasan BBM satu harga yang sudah dilaksanakan hampir 150 titik, ada juga peningkatan cadangan migas di sektor hulu untuk menjaga ketahanan energi, disertai penerimaan pengelolaan delapan blok migas produksi terminasi PSC dari berbagai KKKS untuk dioptimalkan produksinya oleh Pertamina.
Belum lagi soal kepastian distribusi elpiji 3 kg untuk kebutuhan warga tak mampu dan nelayan disegenap pelosok Tanah Air.
Kemudian, tugas baru yang memastikan BBM jenis Ron 88 (premium) harus tersedia di 1.950 SPBU wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) serta di luar Jamali dengan penambahan kuota lima juta kiloliter (kl), sehingga menjadi total 12,5 juta kl premium.
Sebelumnya, hampir tiga tahun premium dibatasi peredaraannya oleh kebijakan direksi lama. Namun, kondisi itu segera teratasi dengan solusi cerdas berupa keluarnya produk yang lebih baik, yakni pertalite Ron 90.
Pertamina pascakeluarnya pertalite untung besar dan rakyat senang. Sementara kala itu banyak NOC (national oil company) diseluruh dunia melakukan PHK besar-besaran tetapi Pertamina tidak melakukannya, hebat.
Namun, di sisi lain saat ini ketika harga minyak melambung tinggi, anehnya lemerintah tetap tidak akan menyesuaikan harga keekonomian premium dan solar sampai dengan 2019.
Alasannya sederhana, pertimbangan dampak negatif secara ekonomi dan politik amat berisiko. Padahal, harga BBM umum telah diatur di dalam Peraturan Presiden No 191/2014.
Regulasi itu mengatur penyesuaian harga BBM umum (pertalite, pertamax, pertadex dan pertamax turbo 98) merupakan aksi korporasi Pertamina biasa, dan kenaikan harga bisa dilakukan setiap bulan. Namun, kini sekarang penentuan harga jualnya harus atas persetujuan pemerintah.
Kalau melihat kebelakang kinerja keuangan Pertamina, pada 2016 perseroan bisa menyumbang deviden sebesar Rp 12,1 triliun. Namun, pada 2017 hanya bisa menyumbangkan deviden sebesar Rp 8,57 triliun.
Kondisi itu akibat tergerusnya laba Pertamina sekitar Rp 24 triliun. Penyebabnya gampang ditebak, karena harga premium dan solar tidak boleh dinaikan dan penugasan BBM seharga diseluruh Indonesia.
Penurunan laba atau semua itu terjadi pada posisi harga minyak dunia rata-rata masih di sekitar USD 60 perbarel dan kurs rupiah sekitar Rp 13,600 per dolar.
Saat ini harga minyak dunia sudah menembus di atas USD 70 per barel, dan tak tertutup kemungkinan bisa mencapai USD 100 per barel. Satu hal yang pasti, keadaan hari ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah menembus Rp 14.100 per dolarnya.
Pertanyaan berikutnya apakah posisi harga minyak dan nilai tukar rupiah ini ke depannya semakin lemah atau kuat? Tidak ada pihak yang bisa menjamin.
Sehingga dapat diprediksikan akibatnya bagi arus kas Pertamina akan berpotensi terus berdarah-darah sejak April 2018 entah sampai kapan berlangsungnya, tidak ada yang dapat memastikannya.
Padahal, asumsi harga minyak di dalam APBN 2018 oleh lemerintah dan DPR masih dipatok dengan harga USD 48 per barel dengan nilai tukar Rp 13.400 per dolar serta lifing minyak 800 ribu barel per hari (bph). Faktanya, sekarang jauh meleset dari semua asumsi APBN.
Melihat keadaan dan harga harga minyak terbaru, muncul wacana dari Wakil Menteri ESDM Achandra Tahar yang mengusulkan agar subsidi solar dinaikan per liter dari awalnya Rp 500 menjadi Rp 1.500 per liter.
Wacana itu pun lantas diaminin oleh Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial yang menyatakan sebaiknya subsidi diambil dari cadangan devisa saja daripada mengharap pada APBN-P, karena terlalu lama waktunya sekitar awal Juli 2018. Usulan itu tentu untuk menghidari Pertamina kolaps.
Sehingga dari realitas semua kondisi tersebut di atas, sudah dapat dipastikan berakibat buruk bagi segenap direksi dan staf Pertamina.
Mereka diliputi suasana kebingungan dengan kebijakan pemerintah yang tak lazim. Di satu sisi penugasan semakin banyak, termasuk untuk menemukan cadangan migas baru serta harus mengejar laba untuk bisa menyumbang deviden untuk mengisi pundi APBN dan ditugasi juga harus membangun infrastrukturnya supaya proses bisnisnya lebih efisien.
Tetapi di sisi lain Pertamina terikat dengan larangan yang tidak sesuai dengan prinsip proses bisnis yang benar sesuai UU Perseroan Terbatas, UU BUMN maupun terhadap Perpres No 191/2014.
Publik kembali terheran dengan sikap geleng-geleng kepala presiden pada 2 Mei 2018 di acara Exebhition & Convention 42 tahun Indonesian Petroleum Association (IPA) di JCC Jakarta.
Gelengan kepala itu karena memertanyakan keheranan kenala Pertamina sejak 1970 sampai saat ini tidak bisa menemukan cadangan migas baru dalam jumlah besar, hanya cadangan migas yang kecil saja.
Tentu pernyataan itu telah menimbulkan pertanyaan baru. Apakah menteri dan wamen serta dirut Pertamina yang sering menghadap presiden selama hampir empat tahun tidak pernah melaporkan kondisi sebenarnya?
Kalau tidak melaporkannya, apakah presiden pun tidak pernah menanyakannya? Atau semua sudah dilaporkan tetapi presiden lupa? Entahlah.
Asal tahu, Pertamina saat ini sangat sulit mengembangkan dirinya sebagai perusahaan berkelas dunia karena terlalu banyak diintervensi oleh para stakeholder.
Baik yang datang dari kalangan istana, Kementeriaan Koordinator dan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN serta DPR. Termasuk dari pengusaha sebagai mitra serta mafia migas.
Seharusnya Pertamina didukung habis dan dilindungi penuh dari aksi intervensi negatif dalam menjalankan aksi korporasinya.
Tujuannya, agar Pertamuna bisa tumbuh sehat dan membangun infrastrukturnya di hulu dengan mengoptimalkan produksi lapangan tua dan baru.
Kemudian di sektor menengah dengan mempercepat upgrading semua kilang dengan program RDMP (Refinery Develoment Master Plan) dan Grassroot serta jaringan pipa minyak dan gas dari lapangan ke terminal atau dari lapangan ke kilang.
Serta semakin menyempurnakan infrastruktur di sektor hilir dalam melayani kebutuhan BBM dan elpiji lebih baik. Adapun semua infrastruktur itu tujuannya untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Pertamina harus segera membangun terminal BBM, terminal LNG regasifikasi skala besar dan kecil, termasuk terminal LPG refrigerated diberbagai daerah.
Tentu semua pembangunan itu dilakukan dengan kajian strategis dan memerhitungkan analisa risiko bisnis yang cermat dan hati hati.
Saya tahu sesungguhnya banyak profesional Pertamina yang sudah sangat mampu asal tidak banyak intervensi. Di sisi lain, Pertamina sebaiknya dalam membangunan semua infrastrukturnya yang sangat mendesak, seharusnya tidak boleh kaku dalam hal skema bisnis, misalnya harus punya modal sendiri dulu baru akan membangun.
Kalau hal itu dilakukan, sudah pasti Pertamina akan tertinggal terus dalam pusaran lingkaran setan. Padahal banyak tipe proses bisnis yang bisa dilakukan secara cerdas.
Contohnya skema aliansi strategis sesama BUMN maupun skema PPP (private patnership project) dengan swasta asing dan nasional dalam dengan pilihan BOOT (build, own, operate, and transfer) atau BLT (build, lease, and transfer).
Pertamina harus terhindar jauh dari permainan politik dalam membangun infrastrukturnya. Misalnya, pembantalan skema proyek dalam membangun terminal LNG di Banten dan termimal LPG refrigerated di Jawa Timur.
Pembatalan itu diduga kental aroma politiknya daripada aroma bisnisnya. Karena kalau melihat peta jalan kebutuhan gas nasional yang dirilis oleh Kementerian ESDM 2017, kedua proyek tersebut adalah masuk prioritas tinggi.
Alasannya, diawal 2020 kita akan melakukan impor gas untuk kebutuhan PLTG, industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja industri lainnya.
Diakhir tulisan ini, saya masih berharap besar agar semua elite di negeri ini untuk bahu membahu bersama-sama menjaga Pertamina agar tetap eksis dalam melayani kebutuhan energi nasional dengan efisien.
Jangan biarkan Pertamina terlalu lama dikendalikan direktur utama dengan status pelaksana tugas. Karena perusahaan ini perlu kepastian dan sangat strategis dalam mengurus hajat hidup orang banyak.
Segeralah pilih dirut yang punya visi dan misi dengan komitmen kuat dan mampu menjaga kebersamaan dalam menggerakkan semua potensi SDM Pertamina untuk mencapai target itu.
Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga Pertamina bisa semakin mandiri dan berkelas dunia reputasinya, terlindungi dari objek sapi perah setiap rezim berkuasa dari waktu kewaktu.
Oleh: Yusri Usman*
*Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Tulisan ini untuk merayakan hari kebangkitan nasional.