Eksplorasi.id – Dapat dibaca di media cetak dan elektronika, Kementerian BUMN yang membawahi PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa perubahan organisasi direksi dilakukan terkait dengan terjadinya kelangkaan BBM dan elpiji sejak tahun lalu.
Melihat dari pengalaman selama ini, terjadinya masalah kelangkaan adalah, terutama (90 persen lebih) akibat sistim distribusi yang terbuka dengan disparitas harga antara komoditas subsidi dan nonsubsidi.
Kondisi tersebut memberi peluang luas bagi penyelewengan dan penyalahgunaan di lapangan.
Kelangkaan kemudian selalu terjadi dari waktu waktu sejak pola subsidi diterapkan.
Dahulu pada waktu penulis menjadi anggota direksi Pertamina (2004-2006, Direktur Pemasaran dan Niaga; 2006-2009, Direktur Utama), kondisinya malah jauh lebih parah dibandingkan saat ini.
Terjadi kelangkaan minyak tanah, solar dan premium yang silih berganti akibat disparitas harga sangat besar.
Hanya kurang dari 10 persen dari kelangkaan adalah karena masalah logistik suplainya.
Itupun seringnya akibat disengaja oleh Pertamina sendiri yang harus membatasi suplai karena kuota subsidi sudah tipis atau habis.
Agar suplai dapat lancar terus, maka haruslah pemegang saham/pemerintah menyetujui Pertamina untuk overun atau lampaui batas kuota subsidi.
Akan tetapi itu tidak mungkin, karena kuota ditetapkan berdasarkan undang undang (APBN) dan kalau ditanggung Pertamina sendiri pasti akan menjadi beban finansial yang tidak mungkin bisa ditanggung perusahaan.
Di lain pihak, Pertamina sendiri tidak punya kemampuan untuk menjadi polisi distribusi BBM dan elpiji untuk mengatasi penyelewengan dan penyalahgunaan.
Meskipun demikian, Pertamina memang perlu secara maksimal mengupayakan minimalisasi dengan bekerja sama dengan aparat hukum dan sanksi internal yang ketat kalau masih ada pekerja yang terlibat.
Kalau sekarang disimpulkan bahwa sebab utamanya adalah karena logistik dan suplai yang tidak beres, sehingga organisasi dan tata kerja perlu dirombak, maka ini adalah hasil dari identifikasi permasalahan yang salah total. Sepertinya telah terjadi misinformasi, naivitas dan simplifikasi permasalahan.
Nomenklatur baru direksi yang diputuskan dalam RUPS beberapa hari lalu, akan berakibat perlunya perombakan fundamental struktur organisasi dan tata kerja organisasi di pemasaran dan niaga khususnya.
Dari yang berdasarkan value chain oriented dari komoditas yang di dipasarkan, dijual, didistribusikan sebagai satu kesatuan, menjadi pemisahan fungsi fungsi kegiatan di dalam value chain/ mata rantai sales and distribution tersebut menjadi unit independen fungsional yang terpisah pisah dan tidak di bawah satu koordinasi.
Dalam implementasinya pasti akan rumit dan mudah terjadi saling menyalahkan. Ilmu manajemen yang dianut menjadi aneh.
Apakah pola seperti itu ada diterapkan di perusahaan migas sejenis lainnya di dunia?
Penulis tidak bisa menemukannya. Di lain pihak pola sistim yang berlaku saat ini telah berfungsi dengan baik sejak lama di negara kita yang sebagai negara kepulauan memiliki pola distribusi BBM dan elpiji yang paling kompleks di dunia.
Memang perlu diakui masih banyak ruang dan upaya yang perlu dilakukan untuk peningkatan efisiensi maupun kehandalannya.
Pertamina yang merupakan institusi yang besar dan kompleks, penyesuaian yang harus dilakukan dengan nomenklatur direksi yang baru tersebut akan pasti perlu waktu cukup lama dan sangat berisiko menimbulkan kegaduhan.
Kegaduhan yang dimaksud bisa berupa resistensi atas perubahan yang harus dialami pekerja di internal Pertamina yang bisa berdampak negatif pada keterjaminan suplai BBM dan elpiji.
Padahal kita telah memasuki tahun politik yang justru perlu ketenangan dan kesejukan dalam bekerja.
Tujuannya agar keterjaminan suplai BBM dan elpiji yang merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup hampir semua orang dapat terus berlangsung tanpa gangguan yang berarti.
Melihat keputusan untuk perubahan nomenklatur didasarkan atas identifikasi permasalahan yang salah, dengan sendirinya telah menghasilkan suatu konsep yang tidak tepat.
Maka sudah sewajarnya dibatalkan atau paling tidak ditunda, untuk kemudian dilakukan reevaluasi/pengkajian kembali yang intesif dan ekstensif.
Kalau ditinjau dari tujuannya adalah untuk mengtasi kelangkaan, terlihat tidak ada urgensinya untuk melakukan perubahan dengan masih adanya disparitas harga.
Perubahan nomenklatur direksi tersebut malah justru akan meningkatkan risiko terjadinya kelangkaan.
Satu satunya cara untuk meniadakannya adalah pemerintah menerapkan kebijakan untuk menghapus total subsidi atau mengubah subsidi komoditas menjadi subsidi langsung atau memberlakukan tata niaga distribusi tertutup dengan penjatahan.
Penulis: Ari Hernanto Soemarno*
*Mantan Direktur Pemasaran dan Niaga dan Direktur Utama Pertamina.