Eksplorasi.id – Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso, Rabu (18/1), mengakui bahwa isu bankability, yaitu kelayakan pembiayaan oleh perbankan, menghambat progres pengerjaan megaproyek PLTGU Jawa 1.
Iwan pun mengungkapkan, rencana pasokan gas untuk PLTGU Jawa 1 belum mencukupi untuk 25 tahun beroperasinya pembangkit.
“Pihak kreditur atau pemberi pinjaman kepada konsorsium meminta jaminan yang menyatakan bahwa proyek tersebut akan berjalan,” kata dia.
Penjelasan Iwan kemarin, dalam pembahasan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) mengerucut delapan pokok masalah yang sudah dibahas beberapa kali, diantaranya masalah bankability dan suplai gas.
“Soal bankability menjadi konsen sejak awal, karena kalau proyek tidak bankable akan sulit mendapat pendanaan. Isu bankability dan suplai gas ini menjadi isu kritis suksesnya proyek ini,” kata dia.
Terpisah, diminta pendapatnya, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaen mengatakan, durasi pasokan gas dari PLN tidak mencukupi sepanjang umur proyek 25 tahun.
“Komitmen pasokan gas dari PLN hanya sampai 2035. Ini sesuai amandemen Perjanjian Jual-Beli Gas (PJBG) antara PLN dengan BP Tangguh yang diteken pada 15 Maret 2016. Sedangkan umur megaproyek PLTGU Jawa 1 hingga 2045,” kata dia di Jakarta, Kamis (19/1).
Di satu sisi, jelas Ferdinand, berdasarkan temuan lenders, paling tidak ditemukan lebih dari 90 isu, di mana syarat dan ketentuan (term and condition) tidak sesuai dengan logika bisnis, best practice serta terjadinya inkonsistensi.
“Antarklausul banyak yang tidak align (satu dengan yang lainnya tidak sejalan). Itulah kenapa megaproyek PLTGU Jawa 1 tidak bisa diterapkan (workable) bahkan tidak bankable,” kata dia di Jakarta, Kamis (19/1).
Penjelasan Ferdinand, diduga pihak manajemen PT PLN (Persero) salah perhitungan dalam hal penentuan kapasitas FSRU dalam dokumen tender, mulai dari hal yang basic (mendasar).
Menurut dia, dalam tender megaproyek itu PLN menetapkan pasokan LNG untuk PLTGU Jawa 1 berasal dari Tangguh, dengan desain kapasitas kapal yang dapat diterima oleh FSRU ditentukan sebesar 125.000-155.000 m3.
“Berdasarkan requirement tersebut, maka sesuai dengan logika sederhana, kapal LNG yang digunakan untuk membawa LNG dari Terminal Tangguh ke FSRU adalah tidak lebih besar dari 155.000 m3,” jelas dia.
Ferdinand menambahkan, sementara dalam lima tahun ke depan, kapal-kapal LNG milik Tangguh sudah tidak ada lagi yang sesuai dengab kapasitas tersebut.
“Kapal-kapal LNG Tangguh ke depan akan memiliki kapasitas 170.000 m3. Tentu saja hal ini menjadi contoh yang sangat mudah dicerna oleh publik bahwa bahwa memang proyek ini tidak workable,” ujar dia.
Dia pun berkomentar, hal ini merupakan cacat teknis (mismatch). “Mengapa PLN meminta desain 125.000- 155.000 m3 sementara kapal yang tersedia pada 2020 berkapasitas lebih besar?” tanya Ferdinand.
Berdasarkan informasi yang beredar, imbuh dia, ada indikasi PLN akan meminta peserta lelang untuk memodifikasi FSRU-nya agar match dengan kondisi saat ini. “Kalau sudah begini, siapa yang akan menanggung biaya modifikasi tersebut?” katanya.
Ferdinand berpendapat, tidak hanya sampai di isu kapasitas FSRU, ketidakkompetensian PLN, khususnya di sektor LNG, juga berimbas pada miskalkulasi perhitungan kebutuhan kargo LNG.
“Pola operasi PLTGU Jawa 1 dengan availability factor 60 persen, diduga membutuhkan lebih dari 16 kargo yang disiapkan PLN dari Tangguh,” ujarnya.
Dengan kata lain, lanjut Ferdinand, komitmen LNG PLN tidak cukup untuk mengoperasikan PLTGU Jawa 1 pada basic pola operasinya, karena dibutuhkan minimal 20 kargo LNG.
“Belum lagi kita membahas dari perspektif jangka waktu pasokan LNG dan analisa sistem transportasinya. Hal ini tentu saja menjadi konsen pengembang dan para lenders, dan termasuk isu utama bankability PLTGU Jawa 1,” jelasnya.
Sebelumnya, manajemen PLN pernah menegaskan bahwa pihaknya akan memberi jaminan pasokan LNG untuk PLTGU Jawa 1.
Namun, apabila terjadi gangguan pasokan LNG, PLN tidak akan mengganti kerugian dalam waktu 30 hari sampai PLN mendapatkan LNG pengganti.
“Tentu saja ini merupakan unfair risk allocation dan menjadi isu bankability. Sepertinya terjadi kelalaian PLN dan procurement agent-nya pada saat terjadi perubahan konsep penyediaan gas yang awalnya menjadi tanggung jawab peserta lelang menjadi tanggung jawab PLN,” tegas Ferdinand.
Reporter : Samsul