Eksplorasi.id – PT PLN (Persero) saat ini sedang sibuk menggelar tender pembangunan sejumlah pembangkit listrik yang seluruhnya berkapasitas 35 ribu megawatt (MW).
Tujuan PLN menggelar tender sejumlah pembangkit tersebut dalam upaya meningkatkan rasio elektrifikasi nasional menjadi sekitar 98 persen pada 2019.
Digelarnya mega tender tersebut membuat sejumlah instansi seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, pengamat energi, anggota DPR, KPPU, hingga pers memberikan perhatian terhadap proses penyediaan kelistrikan ini.
Menariknya, dari 35 ribu MW pembangkit yang akan dibangun di berbagai lokasi, sebanyak 20 ribu MW diserahkan pembangunannya kepada pihak swasta (independent power producer/ IPP), yang lainnya ditangani oleh PLN.
Sejumlah perusahaan besar, baik dari dalam maupun luar negeri berjuang keras agar dapat mengikuti dan memenangkan tender proyek pembangkit tersebut. Bahkan, beberapa di antaranya adalah perusahaan multinasional yang sudah kondang di dunia.
Ironinya, disejumlah proyek tersebut PLN melakukan langkah bluder, seperti di proyek PLTU Jawa 5. “PLN membatalkan tender PLTU Jawa 5 dengan alasan yang tidak benar namun selanjutnya menunjuk anak usahanya, PT Indonesia Power sebagai pelaksana proyek,” kata sumber di Jakarta, Jumat (23/9).
Sumber menjelaskan, ketika Indonesia Power ditunjuk sebagai pengembang proyek berkapasitas 2 x 1000 MW tersebut, sejumlah isu kemudian bergulir di berbagai media massa.
“Bahkan, Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan ikut bicara dengan mengingatkan PLN untuk melakukan tender ulang proyek PLTU Jawa 5,” ujar sumber.
Menurut sumber, mengutip pernyataan Luhut pada Kamis (8/9), penunjukan langsung tidak boleh dilakukan. “Saat itu Luhut pernah berkomentar tender harus dilakukan dengan benar. Terkait dengan itu, Luhut juga mengatakan akan menegur penyelenggara tender,” jelas sumber.
PLTGU Jawa 1
Di sisi lain, lanjut sumber, PLN juga sepertinya berpihak kepada salah satu perusahaan multinasional terkait proyek pembangkit lainnya, yakni PLTGU Jawa 1 yang berkapasitas 2 x 600 MW.
“Dirut PLN Sofyan Basir pernah mengatakan bahwa perusahaan Jepang berpeluang memenangkan tender proyek PLTGU Jawa 1. Sejumlah kalangan sempat mempertanyakan pernyataan Sofyan Basir itu,” kata sumber.
Belakangan, ungkap sumber, yang dimaksudkan perusahaan Jepang oleh Sofyan Basir adalah Mitsubishi, yang satu konsorsium dengan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan PT Rukun Raharja TBK.
Sebelumnya, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, Minggu (11/9), pernah meminta PLN bersikap adil dan transparan dalam menetapkan pemenang tender PLTGU Jawa I.
Menurut dia, keterlibatan anak usaha PLN, PT PJBm sebagai salah satu peserta tender mesti disikapi PLN secara adil dan transparan. Mantan anggota Tim Reformasi Tata kelola Migas itu menegaskan, kalau indikatornya adalah kompetensi dan rekam jejak, maka konsorsium Pertamina-Marubeni-General Electric (GE)-Samsung bisa memenangi tender tersebut.
“Kemampuan Marubeni dan GE yang punya rekam jejak dalam pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik dipadukan dengan BUMN nasional seperti Pertamina, menjadi jaminan keandalan konsorsium tersebut,” kata Fahmy kala itu.
General Electric juga diketahui memiliki teknologi pembangkitan listrik dan gas terbaru yang lebih efisien. Oleh karena itu, Fahmy sempat meminta PLN untuk memilih pemenang tender proyek PLTGU 1 adalah perusahaan konsorsium yang memang benar-benar terbaik.
Kemudian, lanjut sumber, masih ada lagi persyaratan lain, di antaranya soal lahan, yang harus dipenuhi oleh peserta tender. Ketersediaan laham amat penting demi kelancaran pembangunan pembangkit supaya target 35 ribu MW pada 2019 bisa sesuai target.
“Ada kecenderungan untuk melakukan reklamasi dalam pengadaan lokasi proyek pembangkit. Cara ini dinilai sarat dengan risiko, antara lain, memakan waktu lebuh lama, biaya besar, serta resistensi dari penduduk dan aktivis lingkungan,” terang sumber.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sudah menyatakan akan menggugat bila PLTGU Jawa 1 dibangun di atas lahan hasil reklamasi.
“Oleh karena itu, penyelenggara lelang diharapkan bersikap tegas dalam memainkan aturan main dan menutup rapat-rapat celah penyimpangan,” tegas sumber.
Komponen Bahan Bakar
Sementara, sumber lain menyebutkan, sekitar 70 persen harga listrik berasal dari komponen bahan bakar. Harga bahan bakar amat menentukan dalam penetapan harga jual listrik.
“Efisiensi engine (mesin) pembangkit sangat penting, Makin efisien mesin pembangkit makin hemat pemakaian bahar bakar, dan pada akhirnya makin hemat biaya atau harga listrik yang dijual oleh PLN kepada masyarakat,” jelas sumber itu.
Sumber mencontohkan, akan menarik perhatian publik jika di kedua proyek, yakni Tanjung Priok dan Muara Karang, yang sudah diteken kontrak engineering, procurement and construction (EPC)-nya pada 29 Agustus lalu, mesin yang dipakai oleh pemenang tender adalah yang tidak efisien dibandingkan dengan yang tersedia di pasar saat ini.
“Hal ini dimungkinkan terjadi jika dilakukan desain terms and condition sedemikian rupa, sehingga keunggulan teknologi dan efisiensi mesin menjadi tidak penting,” ungkap sumber.
Sumber memaparkan, salah satu yang bisa dimainkan adalah output produksi listrik didesain sedemikian rupa, sehingga cocok dengan mesin tertentu.
“Misalnya, desain output yang disyaratkan oleh PLN adalah 800 MW, dari situ bisa terlihat apakah target output dibuat untuk menguntungkan penyedia mesin tersebut,” jelas sumber.
Sumber member contoh lain, misalnya di Muara karang, kapasitas yang diminta PLN 500 MW dan itu cocok dengan kemampuan Mitsubishi dengan kapasitas mesin 500 MW.
“Sedang jika mesin lain, seperti Siemen adalah 600 MW dan Ansaldo 550 MW, berarti kelebihan kapasitas dan tarifnya lebih mahal. Sementara GE kapasitasnya 550 MW, tetapi mereka tidak ikut tender,” ujar sumber.
Menurut sumber itu, teknologi yang dipakai Mitsubishi diduga paling tua dibanding GE dan Siemens. Teknologi Mitsubishi itu diperkirakan tahun 90-an, sementara Siemen dan GE baru lima tahun. “Tetapi, anehnya PLN lebih suka ke Mitsubishi,” kata sumber.
Sumber juga memberikan perbandingan mengenai efisiensi ketiga mesin, yakni GE sekitar 62,23 persen, Siemen sekitar 60 persen, dan Mitsubishi 59 persen.
Setiap 1 satu persen efisiensi kontribusinya bisa USD 2 juta per tahun. “Nah, apabila umur proyek 20–25 tahun, bisa dibayangkan berapa persen pemborosan uang negara,” jelasnya.
Reporter : Ponco Sulaksono