Eksplorasi.id – Segelintir kalangan berpendapat bahwa penandatangan pokok-pokok perjanjian inti (head of agreement/ HoA) yang dilakukan PT PLN (Persero) dengan dua perusahaan trader asal Singapura, Keppel Offshore and Marine dan Pavilion Energy Pte Ltd adalah bagian dari kerja sama bidang energi antara dua negara.
“Penandatanganan HoA dilakukan di The Istana Singapura pada Pertemuan Bilateral Pemimpin Negara dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Singapura. Ini adalah suatu kebodohan yang sangat memalukan bagi Indonesia sebagai bekas produsen gas terbesar di dunia,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Rabu (13/9) malam.
Yusri menjelaskan, bisa jadi Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan salah menerima informasi secara utuh peta bisnis gas nasional dari para pembisiknya. Dia mengungkapkan, sebelumnya pada 25 Agustus 2016 di Singapura, PT Pertamina (Persero) yang diwakili Yenni Andayani saat masih menjabat sebagai direktur Energi Baru dan Terbarukan telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) dengan Pavilion Energy yang diwakili CEO Seah Moon Sing.
“MoU Pertamina dan Pavillion ini dalam rangka Pertamina mengembangkan bisnis gas ke Asean. Pertamina perlu ekspansi ke Asean, karena PLN yang awalnya diharapkan sebagai anchor buyer pembangunan infrastruktur gas domestik, ternyata enggan bekerja sama dengan Pertamina,” ungkap Yusri.
Dia berkomentar, anehnya ternyata PLN lebih memilih melelang keperluan pembangkit listriknya yang sekaligus disertai dengan fasilitas penyimpanan dan regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG).
“Padahal strategi bisnis seperti ini, sebenarnya PLN telah mengabaikan Pertamina sebagai sesama BUMN. PLN lebih memilih pihak lain untuk menyediakan infrastruktur LNG. Sebenarnya tidak salah Pertamina tahun lalu memilih bekerja sama dengan Pavillion untuk bisa memasuki pasar Asean, daripada harus berurusan dengan PLN,” jelas dia.
Namun, imbuh Yusri, tidak disangka ternyata PLN justru mengikat perjanjian dengan Pavillion dan Keppel untuk membangun LNG skala kecil, di mana perjanjian yang senada juga ditandatangani oleh Pertamina untuk membangun infrastruktur di Asean.
“Kejadian ini bukan hanya menunjukkan adanya praktik-praktik yang tidak etis dalam pengelolaan kekayaan negara yang dikuasakan kepada BUMN, namun juga bentuk nyata tidak adanya koordinasi antarkedua BUMN besar tersebut. Sehingga kalau kontrak PLN tetap dilanjutkan sama saja jeruk makan jeruk,” tegas dia.
Menurut Yusri, dalam hal ini PLN bertindak seakan ‘sok hebat atas kegiatan yang dia tidak pahami’. Komentar dia, petaka ini dimulai ketika Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan bahwa PLN secara mendadak mengubah konsep struktur proyek disisa tender pembangkit 18 ribu MW dari total 30 ribu MW.
Yusri menjelaskan, melansir dari Kontan pada 21 Mei lalu, Supangkat mengatakan, “Konsorsium yang memenangkan tender hanya bertugas membangun pembangkit dan infrastruktur saja, tidak perlu menyediakan gas sekaligus, nanti PLN yang akan menyediakan gasnya, energi primer (gas) harus negara yang kuasai melalui PLN agar seluruh pembangkit ada jaminan pasokan.”
Penjelasan Yusri, perlu dicarikan solusi atas keterlanjuran kejadian yang sangat memalukan bagi Indonesia di mata dunia migas. Adapun langkah yang harus dilakukan adalah HoA antara PLN dan kedua perusahaan Singapura itu dibatalkan, dan mengganti dengan MoU Pertamina.
“Namun, apabila kita ingin bersimpati dengan Singapura, karena sudah terlanjur teken HoA dalam suasana hubungan baik antardua negara bersahabat, pihak Pavillion dan Keppel bisa diajak ikut serta sebagai pihak dalam MoU yang baru tersebut dengan kapasitas masing-masing sesuai kemampuannya,” ujar Yusri.
Pavillion dan Keppel, lanjut dia, bisa diajak untuk mengerjakan utilisasi fasilitas penyimpanan LNG milik otoritas LNG di Singapura dan kajian teknik serta rekayasa fasilitas LNG skala kecil. “Kejadian ini merupakan aib besar bagi tata kelola energi kita yang harus dibayar mahal akibat tidak sinerginya sesama BUMN energi,” katanya.
Sementara, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah PLN Amir Rosidin, dalam diskusi di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (11/9), berkomentar, dalam HoA sama sekali tidak ada kontrak jual-beli LNG, penjajakan pun tidak ada. Hanya kesepakatan untuk bersama melakukan kajian penyiapan infrastruktur mini LNG.
“Jadi HoA ini bukan kontrak transaksi jual-beli LNG, melainkan HoA untuk studi penyiapan infrastruktur mini LNG dengan tujuan mendapatkan solusi logistik yang paling andal dan efisien,” elak dia.
Keterangan Amir, HoA tersebut baru berisi kesepakatan pembuatan kajian bersama. Kerja sama akan berlanjut ke penyiapan infrastruktur gas apabila hasil kajian menunjukkan adanya peluang efisiensi.
Rencananya PLN akan memanfaatkan lokasi terminal Singapura LNG sebagai lokasi LNG hub. Sebab, Singapura berdekatan dengan beberapa pembangkit gas yang akan dibangun di Tanjung Pinang dan Natuna.
Kajian Keppel dan PLN akan melihat apakah pemanfaatan terminal Singapore LNG dapat menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik di Sumatera. “Jika nantinya dari hasil studi ternyata diperoleh biaya yang lebih tinggi, maka studi akan berakhir tanpa tindak lanjut implementasi,” jelasnya.
Kajian dilakukan selama enam bulan sejak HoA diteken. Keputusan apakah akan dilanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak nanti pada Februari-Maret 2018.
Reporter : HYN