Eksplorasi.id – Kementerian ESDM di bawah komando Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pelaksana tugas (Plt) terus membuat gebrakan. Terbaru soal revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan PajakPenghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
PP itu dalam waktu dekat akan masuk finalisasi dan akan segera diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk disahkan.
Luhut selama tiga minggu menjadi Plt ternyata diam-diam terus menggenjot agar revisi PP itu segera rampung.
Sejumlah pihak pernah berkomentar, regulasi tersebut selama ini dinilai sangat menghambat iklim investasi sektor migas.
Banyak pajak yang dipungut pemerintah, sehingga pada investor enggan berinvestasi.
Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja pernah mengatakan, berdasarkan draf terakhir revisi PP No 79/2010, ada sebuah ketentuan baru.
Misalnya, kontraktor migas mendapat insentif tax holiday pada saat kegiatan eksplorasi migas. Adanya tax holiday tersebut tidak akan lagi beban pajak yang mesti dibayar kontraktor migas saat melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia. “Saat eksplorasi, kontraktor belum dapat uang, jadi kami usulkan jangan kena pajak sama sekali,” ujar dia, baru-baru ini.
Wiratmaja menambahkan, selain itu di dalam revisi PP tersebut juga diberlakukan prinsip block basis. Maksudnya, jika ada blok migas yang sudah berproduksi, biaya investasi kegiatan eksplorasi di lokasi yang masih dalam satu Wilayah Kerja (WK) bisa diklaim sebagai cost recovery.
Selama ini, lanjut dia, kontraktor hanya dapat meminta cost recovery untuk biaya yang dikeluarkannya di lapangan yang sudah berproduksi.
Prinsip ini disebut Plan of Development (POD) Basis, di mana cost recovery bisa diklaim sesuai biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan di satu lapangan.
“Saat ini biaya eksplorasi yang masih dalam satu blok tidak bisa di cost recovery, kalau belum menemukan cadangan migas dan berproduksi,” ujar dia.
Wiratmaja menjelaskan, revisi PP tersebut dipastikan akan memberi kepastian hukum kepada kontraktor migas. Pasalnya, ada bleid yang menghormati kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) yang sudah diteken kontraktor dan SKK Migas.
Mayoritas kontraktor migas selama ini memprotes bahwa PP No 79/2010 tidak sesuai dengan prinsip yang di dalam PSC. “Nantinya, hal yang sudah ditetapkan dalam PSC akan dihormati,” jelas dia.
Kemudian terkait bagi hasil. Wiratmaja mengungkapkan, PP itu juga mengatur sistem bagi hasil yang fleksibel. Sekedar informasi, selama ini bagi hasil yang berlaku dalam sistem PSC di Tanah Air adalah, sebesar 85 persen menjadi bagian negara dan 15 persen untuk kontraktor.
“Setelah PP No 79/2010 dirombak, bagian kontraktor dapat diperbesar hingga 40 persen. Contohnya, saat harga minyak rendah seperti sekarang, bagian negara akan dipangkas hingga tinggal 60 persen,” ungkap dia.
Namun, imbuh dia, bagian negara akan kembali menjadi 85 persen saat harga minyak tinggi. Kementerian ESDM ke depannya berharap revisi PP itu jika telah disahkan bisa mendorong kembali minat kontraktor migas mencari cadangan migas di Indonesia.
Dia berkomentar, data menunjukkan bahwa jumlah kontraktor migas dalam kurun 2010-2014 mengalami penurunan, padahal saat itu harga minyak masih relatif tinggi. “Artinya iklim bisnis migas di Indonesia tidak aktraktif. Tanpa adanya penemuan cadangan baru, Indonesia akan kehabisan minyak bumi dalam kurun waktu sekitar 10 tahun mendatang,” kata dia.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal tersisa 3,6 miliar barel, sementara konsumsi minyak per tahun mencapai 300 juta barel, dan akan terus meningkat.
Reporter : Ponco Sulaksono