Eksplorasi.id – Sektor energi listrik dalam negeri ibarat sebuah keluarga, yang hubungan antar-anggotanya kadang tidak akur. Kali ini, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) selaku ayah atau pembina rumah tangga, merasa ada dalam posisi yang berseberangan dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Padahal yang disebut belakangan itu, bisa diibaratkan sebagai anak hasil perkawinan Kementerian ESDM dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di satu sisi, PLN adalah pengemban kewajiban negara untuk menyediakan listrik bagi masyarakat. Sedangkan di sisi lain, PLN adalah entitas perseroan yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh negara, namun beroperasi layaknya sebuah korporasi.
Akhir pekan lalu, Sudirman Said, menegur “anaknya” itu. ”Yang menentukan kebijakan itu ESDM,” kata Sudirman di kantor Direktorat Jenderal Kelistrikan Kemen-ESDM saat itu. Tak berhenti sampai di sana, “si bapak” juga menyinggung “si ibu”, yakni Menteri BUMN, Rini Soemarno. ”Saya sudah sampaikan pada Bu Rini dan deputinya, jangan meng-guide PLN sebagai mesin pencari uang, PLN is an utility company, ukurannya berbeda dengan perusahaan korporasi biasa,” kata Sudirman.
Teguran keras Sudirman itu tak lepas dari sikap PLN, yang menurutnya, kerap membangkang. Contohnya ketika PLN tidak mengikuti Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2015 tentang Harga Beli Listrik dari Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Dalam beleid tersebut, Kementerian ESDM menyebutkan bahwa harga beli listrik mikro-hidro adalah US$ 9-12 sen per KWH. Alih-alih manut, PLN malah mengeluarkan surat edaran bernomor 0497/REN.01.01/DIT-REN/2016 yang menetapkan harga beli listrik PLTMH sebesar US$ 7 – 8 sen/kWh.
Kebijakan lain yang ‘dikontes’ PLN adalah Permen ESDM Nomor 9 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyediaan dan Penetapan Harga Batu Bara Mulut Tambang untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang. Walau ESDM menetapkan hitungan harga batu bara adalah biaya produksi (cost) ditambah margin 15%-25%, PLN menyatakan bahwa margin itu bisa lebih rendah lagi. Yakni 0%-15%.
Kontes berikutnya adalah ketika PLN menghapus proyek high voltage direct current (HVDC) dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025. Proyek pembuatan kabel transmisi listrik bawah laut yang menghubungkan Sumatera dengan Jawa ini sudah lama direncanakan oleh Kementerian ESDM. Maksudnya adalah agar ada pasokan listrik dari Sumatera ke Jawa, sehingga pembangkit di Jawa tidak kelebihan kapasitas. Akan tetapi, PLN berpendapat bahwa saat ini Sumatera sendiri sudah kekurangan pasokan. Belakangan, proyek HVDC ini kembali dimasukkan ke dalam RUPTL 2016-2025.
Sebelum dicopot dari jabatannya sebagai Menteri ESDM, Sudirman pernah menyampaikan kepada GATRA bahwa kesan yang ia tangkap adalah tidak ada kesatuan visi antara ESDM sebagai regulator dan pengarah industri kelistrikan, dengan PLN sebagai pelaksana.
”Kita harusnya inline (sejalan)-lah,” kata Sudirman di kantor Kementerian ESDM, Selasa pekan lalu.
Dalam konteks harga beli listrik, menurut Sudirman, PLN tidak perlu sampai mengeluarkan aturan baru yang seolah-olah bertentangan dengan regulasi ESDM. Kalau memang harga beli yang digariskan pemerintah berada di atas standar PLN, pemerintah akan menambal kekurangannya lewat subsidi. ”Seolah kalau Permen dijalankan, PLN akan rugi besar,” demikian Sudirman menangkap kesan dari PLN.
Menurutnya, pemerintah sebagai regulator melihat urusan kelistrikan secara makro. Sedangkan selama ini, ia menilai, PLN berpikir dalam kerangka mikro. Yakni, cuma menjalankan bisnis sebagai sebuah korporasi. Oleh karena itu, bila ada perbedaan antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan yang dijalankan PLN, itu semua terjadi karena pemerintah juga punya tanggung jawab dalam membina kelangsungan industri listrik dalam negeri.
Misalnya kebijakan pembelian listrik mikro hidro yang lebih mahal, dimaksudkan sebagai insentif perangsang investasi di sektor energi baru terbarukan. Atau, kritik pemerintah terhadap inisiatif PLN yang meminta setoran tunai 10% sebagai uang muka proyek, yang justru meredupkan animo pengusaha listrik dalam negeri lantaran tidak semua punya kekuatan finansial sebesar itu.
”Padahal, listrik itu punya ketergantungan yang besar terhadap investasi,” kata Sudirman. Dependensi kelistrikan itu terlihat dari porsi swasta sebesar 25.000 Megawatt (MW) dalam proyek 35.000 MW yang direncanakan terealisasi pada 2019.
Ketidak-sinkronan Kementerian ESDM dengan PLN, menurut Sudirman, mengirimkan sinyal negatif kepada investor yang hendak berkontribusi dalam penyediaan listrik dalam negeri. Ia menengarai, dampak berikutnya yang akan muncul akibat kecemasan itu adalah tersendatnya program pembangkit listrik 35.000 MW di tahun 2019 nanti. ”Karena listrik itu bukan urusan ESDM atau PLN saja, tapi semua pihak. Termasuk investor swasta yang sekarang ragu-ragu karena pemerintah terkesan inkonsisten,” ujar Sudirman.
Kekhawatiran Sudirman itu mendapat pembenaran dari Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI). Gabungan pengusaha yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga surya itu mengaku khawatir untuk berbisnis dengan PLN. Padahal, awal pekan lalu, pemerintah baru menerbitkan regulasi untuk menjadi landasan bisnis mereka.
Yakni Permen ESDM Nomor 19/2016 tentang pembelian listrik dari PLTS oleh PLN, dengan harga US$ 14,5 sen/kWh sampai US$ 25 sen/kWh (setara Rp 1.885 – Rp 3.250/kWh). Tarif ini bervariasi tergantung pada wilayah tempat PLTS itu berada. Aturan ini berjalan seiring dengan rencana pemerintah untuk membuka tender PLTS dengan total kapasitas 250 MW, Agustus mendatang.
”Kami khawatir regulasi ini tidak akan konsisten dengan implementasi,” kata ketua APAMSI, Abdul Cholik, ketika ditemui GATRA seusai konferensi pers di Kementerian ESDM, Senin lalu. Ia sadar, harga listrik PLTS jauh di atas rata-rata biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN, yakni Rp 1.352/kWh. Berkaca pada nasib harga beli listrik mikro-hidro, Abdul jeri bila akhirnya PLN kembali melansir surat edaran yang menurunkan harga beli, sehingga lebih rendah ketimbang patokan Kementerian ESDM. ”Kami sebagai pelaku industri, ingin ada kepastian,” kata Abdul.
Diberondong teguran dan kritikan semacam itu, Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir tetap tenang-tenang saja. Ketika ditemui GATRA awal pekan lalu, ia mengklaim pihaknya tetap sejalan dengan regulator. ”Kami inline, kok,” kata Sofyan.
Dalam kasus polemik harga beli listrik mikro-hidro, Sofyan menyampaikan bahwa harga PLN masih cukup menguntungkan bagi pengusaha. ”Buktinya, sampai saat ini sudah ada 700-an proposal penawaran kerja sama,” kata Sofyan. Menurutnya, PLN juga cukup fleksibel dalam menentukan harga beli, khususnya bagi pembangkit-pembangkit listrik yang ada di daerah terpencil. Semakin terpencil atau jauh, semakin berani pula PLN membayar mahal untuk beli listrik.
Konsekuensi cost yang kerap dijadikan alasan oleh PLN, dimaknai Sofyan sebagai kesehatan keuangan PLN. Dengan neraca keuangan yang biru, tutur Sofyan, PLN bisa meminjam uang ke perbankan untuk kemudian dipakai sebagai modal membangun fasilitas-fasilitas kewajiban mereka. Misalnya untuk pembangunan transmisi, gardu induk, atau pembangkit peaker yang berfungsi untuk mencukupi kebutuhan listrik saat suatu daerah mencapai beban puncak. ”Kami memang bukan cari untung. Tapi yang pasti, tidak boleh buntung,” kata Sofyan.
Semisal ada peraturan menteri yang memberikan standar harga lebih tinggi dibanding standar PLN, maka Sofyan berharap agar pemerintah juga menyiapkan pos anggaran subsidinya. Sebagai contoh, program PLTS 250 MW yang akan digulirkan mulai awal Agustus ini, membutuhkan tambahan subsidi sekitar Rp 1,5 trilyun per tahun. ”Karena, kalau tidak ada subsidi, keuangan kita akan tertekan,” tutur Sofyan.
Kini, setelah terjadi pergantian di pucuk pimpinan Kementerian ESDM, menteri yang baru sudah punya pekerjaan rumah. Yakni, menjaga konsistensi PLN dalam tugas utamanya: menyediakan listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Juga memelihara kesehatan iklim investasi industri listrik dalam negeri. Sebab, urusan kelistrikan, memang tidak bisa dijalankan oleh pemerintah sendiri.
Eksplorasi | Aditya
Sumber: Gatranews.com