Eksplorasi.id – Erick Thohir pada 23 Oktober 2019 telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi menteri BUMN menggantikan Rini Mariani Soemarno.
Pria kelahiran Jakarta, 30 Mei 1970 ini akan menjadi ‘nakhoda’ bagi 115 BUMN yang ada di republik ini.
Saat ini, masih banyak BUMN yang mengalami kesulitan likuiditas dan kondisi itu menyebabkan sejumlah BUMN terseok-seok jika tidak ingin dikatakan dalam tahap menuju kebangkrutan.
Kinerja mantan ketua Tim Pemenangan Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin untuk membuat kinclong BUMN banyak ditunggu banyak pihak. Apakah dia akan sesukses ketika imperium kerajaan bisnisnya?
Belum genap sehari dilantik, Erick Thohir sudah mengkritik bisnis model yang saat ini dijalankan oleh PT Sarinah (Persero).
Menurut dia, bisnis model Sarinah sudah ketinggalan zaman. Sarinah adalah perusahaan plat merah yang bergerak di bidang ritel.
“Paling mudah Sarinah contohnya. Di era e-commerce, kita masih jual ritel seperti old days. Ya enggak bisa,” kata Erick di Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (23/10) malam.
Dia pun juga melontarkan pernyataan perlunya wakil menteri (wamen) BUMN hingga tiga orang. Alasannya, dibutuhkan banyak orang untuk mengawasi ratusan BUMN tersebut.
Erick Thohir mengaku telah mengajukan tiga sampai empat nama calon wakil menterinya ke Presiden Jokowi. Salah satu nama yang dia usulkan adalah Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Kartika Wirjoatmodjo.
Versi dia, pihaknya lebih mengutamakan wamen dari kalangan BUMN daripada unsur lain. Gayung bersambut. Presiden Jokowi memberi lampu hijau terhadap permintaan Erick Thohir untuk memiliki hingga tiga wamen.
Jokowi menegaskan, pihaknya sudah selesai menyeleksi para wakil menteri yang akan membantu beberapa kementerian.
Jokowi bahkan menyebutkan bahwa wakil-wakil menteri ada yang berasal dari kalangan politikus dan profesional.
Di satu sisi, pengajuan Kartika Wirjoatmodjo, salah seorang yang namanya diusulkan Erick Thohir menjadi wamen bukan tanpa persoalan.
Fakta membuktikan, hampir semua direksi BUMN perbankan gagal ketika memimpin BUMN yang bukan sektor keuangan (perbankan). Apalagi nanti ketika dipercaya menjadi wamen. Hal ini akan menjadi persoalan baru bagi Erick Thohir.
Berikut ini sejumlah pekerjaan besar di BUMN yang telah menanti Erick Thohir.
Pertama, PT Pertamina (Persero). Erick harus segera mencopot Nicke Widyawati dari kursi direktur utama (dirut) karena sempat tersangkut masalah di proyek PLTU Riau 1, saat dia duduk sebagai direksi PT PLN (Persero), meskipun Nicke baru sebatas saksi. Kondisi itu bisa mempengaruhi kinerja Pertamina ke depannya.
Erick harus mengganti sosok Nicke dengan figur yang bersih dan bebas dari beban masa lalu dan paham akan kondisi Pertamina dari hulu hingga hilir.
Persoalan lain di Pertamina adalah soal kebocoran gas di Blok ONWJ sejak Juli 2019 yang telah mencemarkan Laut Jawa dan pesisir Karawang, Jawa Barat.
Kemudian, terkait stok BBM nasional yang kini dalam kondisi kritis dan tidak ideal, jauh di bawah angka minimal yang dipersyaratkan. Akibatnya, di beberapa daerah terjadi antrian BBM di SPBU serta pasar BBM industri yang direbut pesaing.
Pertamina juga harus menanggung kerugian akibat kontrak jangka panjang pembelian gas alam cair (liquid natural gas/LNG) dari perusahaan asal Amerika Serikat, Cheniere Corpus Christi. Pertamina sejak 2014 telah meneken kontrak impor LNG dengan Corpus sebesar 1,5 juta ton per tahun.
Belum lagi perjanjian jual beli LNG jangka panjang antara Pertamina dengan perusahaan dari Australia, Woodside Energy Ltd melalui Woodside Energy Trading Singapore Pte Ltd. Woodside Singapore akan memasok 600 ribu ton per tahun dari 2022 hingga 2034.
Problem besar Pertamina lainnya adalah pembangunan kilang yang tak kunjung selesai serta laporan keuangan yang ‘dipoles’ agar terlihat ciamik.
Terbaru, terbakarnya pipa BBM di samping jalur tol Padalarang KM 130 pada Selasa (22/10). Saat ini penyaluran melalui pipa sementara dihentikan dan Pertamina masih melakukan proses penanggulangan dan investigasi bersama pihak terkait.
Kedua, PT PLN (Persero). Adanya gangguan transmisi milik PLN yang menyebabkan pemadaman listrik hampir 30 jam di sebagian Pulau Jawa termasuk di DKI Jakarta pada 4 Agustus lalu memperburuk citra PLN.
Apalagi, pemadaman listrik di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi warisan turun temurun perusahaan ini dari masa ke masa. Terlebih, PLN saat ini telah dipimpin oleh tiga orang Plt dirut, bukan pejabat definitif, sehingga kenyataan tersebut dinilai sebagai salah satu faktor betapa sulitnya memajukan PLN.
Saat ini publik juga bertanya-tanya tentang komitmen dan keseriusan Kementerian BUMN dalam menangani PLN, apalagi persoalan listik merupakan persoalan seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, meski berhasil mencetak laba sebesar Rp 7,35 triliun pada semester pertama tahun ini, namun PLN terus saja menerima suntikan modal dari pemerintah.
Belum lagi adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) APBN 2020 untuk PLN sebesar Rp 17,73 triliun, sebuah angka yang fantastis. Polesan laporan keuangan juga menghantui perusahaan setrum negara ini.
Ketiga, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Perusahaan baja ini terus mengalami kerugian menahun akibat tidak mampu bersaing dengan baja impor.
Selain itu, juga berkembang isu yang menyebutkan bahwa Krakatau Steel berencana melakukan pemangkasan tenaga kerja.
Meski baru saja beroperasi blast furnace baru, namun ternyata desain yang dipakai sudah tidak tepat dan waktu pembangunan molor dengan biaya membengkak, sehingga malah menjadi beban tambahan setelah pabrik kerja samanya dengan perusahaan asal Korea Selatan, Pohang Iron & Steel Company (Posco), ternyata terus merugi.
Keempat, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Adanya masalah laporan keuangan Garuda pada tahun buku 2018 yang berawal dari penolakan dua komisarisnya untuk menandatangani laporan tersebut.
Kontroversi itu selanjutnya berakhir dengan sanksi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap Garuda Indonesia.
Setelah diharuskan membayar denda, saham Garuda pun terpaksa tumbang dan mendarat di jajaran top losser pada perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Meski saat ini saham Garuda sudah kembali naik lagi pada posisi seharusnya sesuai kinerja keuangan 2019, namun bagaimanapun juga kejadian tersebut tentu merusak citra Garuda di mata keuangan internasional.
Harga tiket yang melambung tinggi juga menjadi sorotan publik terhadap Garuda. Selain itu, kasus rangkap jabatan yang menyeret nama CEO Garuda dan konflik dengan Sriwijaya Air juga semakin membuat nama maskapai ini jadi bahan perbincangan.
Kelima, PT Asuransi Jiwasraya (Perseroan). BUMN sektor keuangan ini masih terus menghadapi masalah keuangan karena perusahaan tidak mampu membayar premi hingga Rp 802 miliar.
Tunggakan premi itu berasal dari produk saving plan yang dikeluarkan perusahaan pada 2013. Sayangnya ada permasalahan dari penempatan dana produk tersebut di portofolio investasi.
Manajemen juga mengakui salah satu penyebab masalah macetnya pembayaran premi produk asuransi tersebut adalah penurunan nilai portofolio sebesar 75 persen. Sementara sekitar 80 persen dari dana itu ditempatkan di pasar saham dan reksadana.
Keenam, PT Indofarma Tbk (INAF). Perusaaan ini juga terus mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian BUMN saat ini sedang menyiapkan induk usaha atau holding BUMN Farmasi. PT Bio Farma (Persero) dipersiapkan sebagai induk usaha yang akan membawahi PT Indofarma, PT Kimia Farma (Persero) Tbk, dan PT Phapros Tbk sebagai anak usaha dari Kimia Farma.
Meskipun holding sudah terbentuk, tanpa transformasi bisnis yang mengedepankan efisiensi produksi, distribusi dan inventori, di samping masuk pada bisnis kesehatan baru, terutama layanan terpadu klinik (termasuk klinik perawatan) dan apotek di komplek perkantoran/plaza, maka permasalahan itu tidak bisa diselesaikan.
Ketujuh, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Bank BUMN terbesar di Indonesia ini sempat mengalami masalah dengan error-nya sistem teknologi informasi. Akibatnya, saldo ribuan nasabah sempat mengalami perubahan drastis.
Meskipun nasabah mendapatkan kepastian dalam hal jaminan uang simpanannya, namun sebagai salah satu perusahaan besar di bidang perbankan, persoalan keamanan menjadi kewajiban utama yang harus diperhatikan untuk menjamin simpanan nasabah.
Kedelapan, PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Perseroan kini sudah memiliki induk (holding) perkebunan, PTPN III. Kesalahan manajemen sebelumnya menyebabkan kondisi PTPN banyak yang rugi (hanya 3 dari 14 perusahaan yang untung) serta menanggung utang besar yang tidak lagi mampu dibayar.
Bahkan, PTPN diketahui sudah mengirimkan surat resmi ke Kejaksaan Agung untuk meminta Legal Opinion atas rencana pembayaran utang kepada pihak ketiga melalui beberapa opsi, baik pengalihan menjadi saham maupun pemindah-tanganan aset.
Ditambah lagi penangkapan Dirut PTPN III Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana sebagai tersangka suap oleh KPK menjadi beban tambahan bagi PTPN.
Kesembilan, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. Langkah manajemen Pelindo II yang tidak menyelesaikan program lama dan dibiarkannya hingga saat ini seperti penyelesaian proyek Kalibaru antara PT PP (Persero) Tbk dan Pelindo II yang sudah mundur lebih dari dua tahun akan membawa kekisruhan antar-BUMN.
Kemudian, polemik perpanjangan kerja sama Pelindo II dengan Hutchison Port Holdings dalam pengoperasian terminal Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Koja yang menghasilkan laporan audit BPK dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 14,6 triliun.
Apalagi temuan BPK tersebut secara resmi sudah diserahkan ke DPR dan sudah dibentuk Panitia Khusus (Pansus).
Lalu, pelaksanaan investasi pembangunan pelabuhan baru yang menjadi dasar penerbitan global bond sebesar USD 1,5 miliar serta pengembangan fasilitas yang tidak ditindaklanjuti oleh manajemen.
Semua itu terkesan dibiarkan oleh manajemen. Persoalannya, bagaimana membayar utang global bond tersebut bila manajemen hanya menempatkan pada investasi portfolio saja sehingga jelas menimbulkan kerugian bunga.
Perkara lainnya, masalah korupsi dengan tersangka mantan Dirut Pelindo II Richard Joost Lino yang saat ini sedang dilanjutkan penyidikannya oleh KPK. Bukan tidak mungkin akan meluas kepada hasil temuan BPK terkait hal-hal tersebut di atas.
Korupsi BUMN
Publik kerap dikejutkan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terlihat tidak henti-hentinya menjaring para ‘pejabat nakal’ di kalangan BUMN yang terlibat praktik rasuah.
Sejumlah petinggi hingga dirut sejumlah BUMN silih berganti diciduk oleh KPK. Sebut saja, direksi Pelindo II, PT PAL, Jasindo, Angkasa Pura II dan masih banyak lagi. Kemudian yang terbaru, direksi PTPN III, Perum Perindo dan PT Inti juga harus berurusan dengan KPK.
Berbagai direksi BUMN yang banyak diisi oleh orang-orang dari perbankan nasional (Himbara) serta sebagian dari Telkom, ternyata banyak yang gagal untuk membawa BUMN ke arah yang lebih maju.
Di samping itu, penilaian kinerja oleh Kementerian BUMN yang berbasis pencapaian singkat tanpa melihat aspek sustainability perusahaan, menjadikan banyak direksi BUMN yang mengambil jalan pintas meski berisiko besar dan panjang, termasuk melakukan financial engineering bahkan bila perlu windows dressing.
Pertanyaannya, sanggupkah Erick Thohir membawa perubahan dari segelintir masalah yang sedang membelit BUMN seperti beberapa contoh kasus di atas? Semoga!
Reporter: tim.