Eksplorasi.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Indonesia harus mengambil sikap untuk menggenjot eksplorasi minyak nasional.
Pasalnya, saat ini produksi minyak berada pada level 800 ribu barel per hari (bph), namun diperkirakan pada 2020 mendatang hanya akan mencapai 480 ribu bph.
“Dari tahun 2007 sampai sekarang, faktor-faktor penurunan dari hulu itu tercermin dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia yang menurun. Kita bahkan pada 2016 ini dari 800 ribu bph jadi 400 ribu bph pada 2020 apabila tidak ada perbaikan kegiatan yang menyelesaikan isu di hulunya,” ujarnya belum lama ini di Jakarta.
Sri mengungkapkan, untuk masalah umumnya memang tidak lepas dari kondisi sumur minyak yang semakin tua. Maka dari itu dibutuhkan upaya yang lebih keras, terutama untuk menarik investor mencari sumur-sumur baru.
“Penurunan sudah pasti terjadi, bukan hanya karena faktor sumurnya menjadi tua tapi juga karena tidak adanya faktor eksplorasi baru yang menyebabkan munculnya kemungkinan terjadinya produksi minyak mentah di Indonesia,” tuturnya.
Menurut Sri, dengan diwujudkan revisi PP No 79/2010 maka terdapat pokok perubahan, yaitu pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi, yaitu PPN impor dan bea masuk dan PPN dalam negeri dan PBB.
Selain itu, tambahnya, pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi, yaitu PPN impor dan Bea Masuk PPN dalam negeri dan PBB, pembebasan PPh pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh kontraktor dalam, rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overload kantor pusat.
Sementara itu, lanjutnya, pemerintah juga memberikan kejelasan non fiskal, terutama untuk kredit investasi. Sedangkan untuk konsep bagi hasil penerimaan negara bersifat sliding scale.
Hal itu artinya pemerintah akan mendapatkan bagi hasil yang lebih apabila harga minyak meningkat sangat tinggi. “Dengan adanya revisi ini diharap kegiatan sektor hulu minyak akan lebih menarik bagi investor,” tandasnya.