Eksplorasi.id – CEO Woodside Petroleum, Peter Coleman, serius memikirkan akuisisi proyek eksplorasi gas. Hal ini didasarkan pada keputusan perusahaan patungan Browse untuk proyek LNG terapung senilai USD 40 Miliar yang tentu sangat atraktif bagi perusahaan lain.
“Proyek di lepas pantai Barat Laut tersebut ditangguhkan karena jatuhnya harga minyak yang sangat riskan untuk proyek-proyek besar, terlepas meskipun pekerjaan yang dilakukan itu bertujuan untuk mengurangi biaya,” kata Woodside.
Coleman mengatakan keputusan untuk menunda usaha itu memberi Woodside sedikit waktu untuk mengejar akuisisi aset, juga mengisyaratkan mereka akan mengambil prioritas untuk pengembalian modal bagi para pemegang saham.
“Hal ini sangat menarik tetapi juga berpeluang mencegah Anda untuk berambisi mengejar peluang yang hanya datang 10 tahun sekali atau bahkan lebih,” katanya.
Senada, Wood Mackenzie mengatakan, penangguhan tersebut “menelan korban terbesar” semenjak jatuhnya harga minyak pada Januari kemarin yang menyebabkan penundaan proyek senilai USD 380 miliar.
Tentu hal ini menjadi pukulan telak bagi sektor migas di Australia Barat, selain pukulan lain yaitu anjloknya investasi pasca redupnya pasar komoditas.
Menteri Sumber Daya Federal (Federal Resources Minister), Josh Frydenberg, mengatakan bahwa keputusan itu sebagai “ketidakberuntungan”. Tapi Frydenberg juga mencatat bahwa Woodside tetap menjaga komitmennya untuk menyelesaikan proyek itu.
WA Premier Colin Barnett mengatakan, alih-alih terkejut, ia justru sangat kecewa.
“Ini akan sangat sulit bagi mereka untuk melanjutkan proyek ini ketika harga migas anjlok,” kata Barnett yang yakin dengan menyuarakan harapan proyek, bisa setidaknya mendapatkan “kesempatan lagi” saat harga stabil di 2-3 tahun ke depan.
Realita Pasar Baru
Keputusan yang menyebutkan Eksplorasi Blok Migas akan tetap berada di darat (onshores) selama satu dekade disinyalir sebagai cerminan “Realitas Pasar Baru”. Hal ini dikatakan analis Bernstein Research, Neil Beveridge.
Di lain pihak, Coleman meramalkan bahwa eksplorasi semacam ini baru akan bergerak dalam waktu 2-3 tahun ke depan.
“Tidak terlalu lama, kok, tetapi juga tidak seminggu atau sebulan,” katanya.
Seiring dengan itu, usaha para partner eksplorasi migas beberapa kali sudah ditangguhkan, terutama pada April 2013 ketika mereka meneken pabrik onshore di James Price Point pada saat harganya berada di kurang lebih USD 80 miliar.
Mereka telah menghabiskan miliaran dolar berusaha untuk mengkomersilkan gas di Browse Basin, yang pertama kali ditemukan pada awal 1970-an.
Ternyata Coleman telah meramalkan kabar buruk ini sejak bulan lalu ketika ia mencatat kurangnya gairah pelanggan LNG di Asia untuk membuat kontrak jangka panjang baru, tentu hal ini sebagai akibat dari tergerusnya harga minyak dunia yang terus menerus.
Shell, mitra terbesar Woodside dalam proyek ini, juga telah berbicara dengan kepala eksekutif, Ben van Beurden. Shell mengatakan, pada Februari, mereka harus berpikir secara ekonomis ketika harga minyak kurang dari USD 50 per barel.
Tetap Keukeuh Pakai LNG Apung
Woodside mengatakan LNG apung tetap menjadi solusi yang lebih disukai untuk mengembangkan eksplorasi migas ini.
Namun sayangnya, usaha untuk menggunakan teknologi FLNG Shell pada proyek Prelude raksasa minyak ini terancam batal.
Pada akhirnya, Coleman mengambil alternatif pilihan yang sama sekali berbeda, yaitu dengan menggunakan pipa untuk mengalirkan gas ke Karratha untuk digunakan dalam usaha North West Shelf LNG.
Eksplorasi | SMH | Aditya