Eksplorasi.id – Pembahasan revisi UU Migas yang sedang digodok oleh DPR diharapkan berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan asing.
Untuk itu, sudah saatnya mengembalikan kuasa pengelolaan pengusahaan migas kepada Pertamina, sebagai representasi negara.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menegaskan, kedaulatan dan ketahanan sudah seharusnya dikembalikan ke dalam negeri.
Faktanya, kedaulatan energi dalam negeri saat ini memang belum optimal, karena UU Nomor UU 22 Tahun 2001tentang Migas yang memang sangat liberal dan sangat berpihak pada kepentingan asing.
“Untuk itu, jika ingin mengembalikan kedaulatan energi, maka yang harus diperbaiki adalah melalui perubahan UU Migas. Terutama dalam hal pengelolaan migas, yang harus di tanganBUMN, yaitu Pertamina. Dengan demikian, tidak perlu lagi membentuk BUMN Khusus,” kata Marwan, Senin (14/3/2016).
Terkait hal itu, menurut Marwan, maka wacana menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus memang harus dihilangkan.
Sebab, keberadaan BUMN Khusus itu sendiri akan menjadikan pengelolaan migas menjadi tidak efisien. Sedangkan keberadaan SKK Migas sendiri harus digabungkan ke dalam Pertamina.
Dalam konteks penguasaan oleh negara, lanjut Marwan, RUU Migas harus menegaskan bahwa aset cadangan terbukti, seharusnya menjadi aset Pertamina.
Karena dengan monetisasi aset yang dilakukan Pertamina, maka aset tersebut bisa dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai konstitusi.
“Tidak seperti sekarang, malah asing yang begitu dominan dan menguasai, sedangkan Pertamina hanya sekitar 20 persen saja. Padahal di berbagai negara, national oil company (NOC) mereka yang dominan menguasai,” kata dia.
Sementara itu, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Profesor Juajir Sumardi, mengingatkan agar dalam membahas RUU Migas, DPR mendengarkan aspirasi rakyat.
Sebab sesuai konstitusi, rakyat adalah stakeholder karena penguasaan migas harus dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Rakyat punya hak untuk mengembalikan hakikat kedaulatan negara kepada Pertamina sebagai satu-satunya BUMN yang punya pengelolaan hak penguasaan migas. DPR harus memperhatikan hal itu,” kata Juajir.
DPR harus sadar, bahwa amanah konstitusi tersebut, saat ini tidak tercapai. Pasalnya, berdasarkan UU Migas yang berlaku saat ini, Pertamina tidak lagi diberi kuasa pertambangan secara monopoli.
Yang terjadi, lanjutnya, kuasa pertambangan justru diberikan kepada siapa saja yang berminat untuk mengelola dan mengeksplorasi sehingga terjadilah liberalisasi.
Akibatnya, imbuh Juajir, penguasaan pengusahaan minyak didominasi oleh asing. Saat ini saja, kurang lebih 85 persen proses produksi migas di Indonesia, dikuasai asing.
“Ini terjadi akibat kesalahan dalam mendesain ketentuan hukum yang berlaku. Diharapkan, kesalahan ini tidak terulang kembali dalam pembahasan RUU Migas saat ini,” kata dia.
Eksplorasi | Inilah | Yudo