Eksplorasi.id – Ribuan karyawan PT Pertamina (Persero) yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina (FAPPB) pada Jumat (20/7), sejak pagi hingga siang hari, melakukan demonstrasi.
Aksi itu mereka lakukan di depan Gedung Kementerian BUMN, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.
Tuntutan aksi demonstrasi itu di antaranya adalah meminta Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno untuk mundur.
Alasannya, Rini telah menyutujui proses akuisisi anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas (Pertagas) diakuisisi oleh PT PGN Tbk.
Seperti diketahui, Pertamina dan PGN telah meneken Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA).
Perjanjian ini mengatur proses akuisisi Pertagas oleh PGN pada 29 Juni lalu. Namun, perjanjian ini menuai aksi penolakan dari pekerja Pertamina.
“Menuntut agar CSPA dibatalkan, serta seluruh proses akuisisi tersebut dihentikan,” kata Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Bagus Bramantio ketika melakukan aksi demonstrasi tersebut.
Para karyawan Pertamina itu juga menolak langkah Rini untuk menjual sejumlah aset milik perseroan lainnya.
Menjelang siang, Rini dengan berani dan tanpa rasa takut menemui para pendemo tersebut.
Mengenakan baju tunik batik berwarna cokelat, Rini langsung naik ke atas mobil pendemo. Memegang pengeras suara, Rini mengatakan, dirinya berterima kasih atas aspirasi yang disampaikan pendemo terkait akuisisi Pertagas oleh PGN.
Penjelasan Rini, aksi korporasi itu bukan berarti menjual aset Pertagas ke PGN sebab kendali tetap ada di Pertamina.
Sumber: CNBCIndonesia.com
“Saya sudah bicara dengan presiden FSPBB (Ari Gumilar) hadir di sini, saya yakin ini kepedulian terhadap Pertamina. Tapi tolong baca betul surat saya, bilang tolong dikaji untuk kemungkinan ini, jangan lupa bahwa kontrol tetap harus ada di Pertamina,” tegas Rini.
FSPBB adalah kepanjangan dari Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu. Rini kembali menegaskan, dia tidak akan menjerumuskan Pertamina.
Komentar Rini, dirinya bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan Pertamina untuk 100 tahun ke depan. “Jangan lupa bahwa kontrol tetap harus ada di Pertamina. Kami sebagai pemegang saham, tidak mungkin menjerumuskan Pertamina. Tanggung jawab saya adalah bagaimana Pertamina sehat 100 tahun ke depan untuk anak cucu cicit,” kata Rini.
Usai berpidato, Rini langsung turun dan masuk ke mobil dan tidak berbicara sepatah kata pun pada media.
Figur Penting
Rini merupakan salah satu figur penting di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bersama Sri Mulyani Indrawati (menteri Keuangan), ‘nasib’ perekonomian bangsa ini ditentukan.
Rini diangkat menjadi menteri BUMN sejak 27 Oktober 2014. Di tangan Rini saat ini keberlangsungan 115 BUMN ditentukan.
Pada medio April lalu, Rini sempat memamerkan capaian yang diraih BUMN. Cerita Rini, sejak Kementerian BUMN lahir pada 1998, terjadi lonjakan keuntungan yang luar biasa.
“Pada 1998, keuntungan seluruh perusahaan milik negara hanya Rp 14 triliun lalu menanjak terus hingga 2018. Tahun lalu (2017), keuntungan seluruh BUMN mencapai Rp 187 triliun,” ujar dia.
Selain keuntungan BUMN, Rini juga menjelaskan total aset yang berhasil diraih oleh semua BUMN. “Pada 1998, aset BUMN hanya Rp 438 triliun. Akhir 2017, atas kerja keras dan ridho Allah subhanahu wa ta’ala, aset kita Rp 7.200 triliun,” sebut dia.
Banyak kalangan menilai sosok Rini cukup kontroversial. Pasalnya, Rini seakan-akan mengendalikan seluruh BUMN dengan begitu leluasanya.
Para pengkritik itu melihat dari cara Rini sangat leluasa mengatur segala hal yang berkaitan dengan BUMN. Sebut saja ketika Rini sangat bebas mengganti, menempatkan dan merombak susunan pengurus BUMN, baik itu direksi maupun komisaris.
Belum lagi hal yang berkaitan dengan aksi korporasi. Setiap kebijakan yang dilakukan Rini seakan tidak pernah mendapat penolakan dari Presiden Joko Widodo.
Rini juga sangat berani ketika dirinya harus berhadap-hadapan dengan partai penguasa, PDI Perjuangan. Teriakan agar Rini dicopot oleh kader PDI Perjuangan yang menjadi anggota dewan terus lantang terdengar.
Namun, Rini sepertinya ‘masa bodoh’ dengan semua gunjingan dan teriakan tersebut. Dirinya terus melangkah mengambil kebijakan yang dianggapnya bisa menjadikan BUMN semakin mumpuni.
Belum lagi ketika pada 29 November 2017 Rini melakukan pengalihan saham negara pada PT Antam (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk kepada PT Inalum (Persero).
Dia seakan tidak peduli dengan segala macam cacian yang menerpa dirinya. Langkahnya seperti tidak ada yang bisa menghentikan. Dia benar-benar sosok perempuan pemberani yang berada di tengah pusaran politik yang cukup kejam dan bengis.
Sejatinya, bukan tanpa alasan Presiden Jokowi memilih Rini untuk memimpin kementarian BUMN. Lahir di Maryland, Amerika Serikat, 9 Juni 1958, Rini merupakan sarjana ekonomi lulusan dari Wellesley College, Massachusetts, Amerika Serikat.
Rini sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kabinet Gotong Royong untuk periode 2001-2004.
Setelah lulus kuliah, Rini sempat magang di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan memulai kariernya dengan bekerja di Citibank Jakarta pada 1982.
Secara latar belakang, Rini merupakan anak dari Soemarno, gubernur Bank Indonesia dan menteri Keuangan Kabinet Kerja III periode 1960-1962.
Ayah Rini pada 1962-1963 menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia dan juga menteri Urusan Bank Sentral Kabinet Kerja IV.
Kemudian mulai 1964-1966, Soemarno menjabat sebagai menteri Koordinator Kompartimen Keuangan di empat kabinet yang berbeda.
Saat itu, alasan ditunjuknya Soemarno sebagai gubernur Bank Indonesia karena dia pernah menjabat sebagai Eksekutif Direktur Bank Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan di Washington mulai 1 November 1958 hingga Oktober 1960.
Bukan Orang Parpol
Wikipedia mencatat, pada 1982, setelah mendapat kesempatan bekerja magang di Departemen Keuangan AS, Rini memutuskan kembali ke Indonesia.
Rini bekerja di Citibank Jakarta. Kariernya terus melesat hingga menggapai kursi vice president yang menangani Divisi Coorporate Banking, Marketing and Trainning.
Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku tangan. Dia malah menginginkan tantangan yang lebih besar. Karena itu, pada 1989 dia kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus mengembangkan dirinya.
Rini terus mendaki tangga sukses. Pada 1990, kariernya di Astra Internasional berbintang terang. Tahun itu dia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris perusahaan itu, menduduki kursi direktur Keuangan Astra Internasional sampai 1998.
Awal 1998, Rini ditarik ke jajaran birokrasi. Dia dipilih Menteri Keuangan saat itu, Fuad Bawazier, untuk membantunya menjadi asisten bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional.
Pada tahun yang sama, tepatnya April, pemerintah juga mengangkatnya menjadi wakil ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dua jabatan itu hanya dijalani Rini dalam hitungan bulan.
Ada banyak faktor eksternal yang membuat dirinya tidak bisa berkarya secara maksimal di sana. Rini mengundurkan diri dari dua jabatan tadi dan kembali ke Astra Internasional.
Rini kembali ke Astra saat perusahaan itu mengalami badai krisis ekonomi hampir membuat karam. Kerugian induk perusahaan otomotif terbesar di Indonesia itu pada semester pertama 1998 mencapai Rp 7,36 trilliun.
Ketika itu, jika berkaca pada laporan presiden direktur Astra dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSBL) 8 Februari 1998, boleh dibilang perusahaan itu sudah bangkrut.
Sahamnya perseroan di Bursa Efek Jakarta hanya bernilai Rp 225,- per lembar saham pada September 1998. Bandingkan dengan saat go public menjelang akhir 80-an yang mencapai belasan ribu rupiah.
Beberapa langkah segera Rini ambil. Misalnya, program efisiensi usaha melalui pemotongan gaji jajaran eksekutif, penutupan jaringan distribusi yang kurang strategis, serta pengurangan 20 persen karyawan dari 100 ribu karyawan Astra saat itu.
Selain itu, Rini juga mengajak karyawan menjadi bagian dari pemegang saham Astra sehingga kepentingan pemegang saham, perusahaan dan karyawan bisa selaras.
Langkah lainnya adalah merestrukturisasi utang Astra Internasional yang mencapai USD 1 milliar dan Rp 1 trilliun. Akibat langkah-langkah itu, keuntungan Astra untuk seluruh tahun 1999 mencapai Rp 800 milliar dari kerugian mencapai Rp 1,976 trilliun pada 1998.
Namun, kerja keras dan prestasi Rini itu berbenturan dengan pemegang kebijakan. Kapal yang dinahkodainya dinilai Cacuk Sudaryanto, kepala BPPN yang baru, sebagai tidak kooperatif.
Ini berkait dengan rencana BPPN melepas saham Astra yang dipegang pemerintah. Rini dinilai tidak memuluskan pelepasan saham itu karena tidak suka pada investor yang dipilih BPPN.
Rini sempat berang dengan tudingan itu dan mengirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Isinya membantah apa yang diungkapkan Cacuk. Buntutnya terjadi silang pendapat soal rencana penjualan saham Astra dan penggantian dirinya.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa 8 Februari 2000, dua tahun setelah dia dipilih dalam ajang yang sama, Rini harus merelakan kursi presiden direktur Astra Internasional kepada Theodore Permadi Rachmat. Mantan atasannya ketika ia masih menjabat sebagai direktur keuangan perusahaan itu.
Lepas dari Astra tak berarti Rini habis. Rini masuk ke perusahaan multimedia Agrakom yang dikenal sebagai pemilik situs Detikcom sebagai komisaris.
Rini Soemarno merupakan menteri yang bukan berasal dari partai, namun kedekatannya dengan ketua umum PDI Perjuangan yang juga presiden Republik Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, membuat dia sering dikaitkan dengan partai berlambang kepala banteng itu.
Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo yang kini menjabat sebagai menteri Dalam Negeri pun membantah bahwa Rini adalah anggota atau kader partai.
Menurut Tjahjo, Rini sudah dekat jauh sebelum menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian era Megawati Soekarnoputri.
Rini pun membenarkan perihal kedekatannya dengan Megawati. Rini menceritakan sejarah kedekatan ayahnya dengan Presiden Soekarno, ayah Megawati. Dia mengatakan kakak tertuanya seumuran dan bersahabat dengan Guntur Soekarnoputera (kakak Megawati).
Kakak perempuannya satu sekolah dengan Sukmawati Soekarnoputri (adik Megawati). Namun secara pribadi, Rini mengaku tak banyak berinteraksi dengan mereka karena umur jauh berbeda.
Setelah menjadi menteri, Rini baru intens berinteraksi dengan Megawati. Rini membantah kedekatannya dengan Megawati membuat dia terpilih menjadi kepala Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
Sebagai seorang perempuan ‘pemberani’, langkah berani apa lagi yang akan dilakukan Rini menjelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi-JK ini. Apakah langkah itu kembali akan menimbulkan kontroversi atau tidak. Mari kita nantikan bersama.
Karier Rini Soemarno :
- Sejak 2014 : Menteri Badan Usaha Milik Negara Kabinet Kerja
- Sejak 2008 : Komisaris Aora
- 2001-2005 : Presiden Direktur PT Kanzen Motor Indonesia
- 2001-2004 : Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Gotong Royong
- 2000-2001 : Presiden Direktur PT Semesta Citra Motorindo
- 1998-2000 : Presiden Direktur PT Astra Internasional
- 1990-1998 : Direktur Keuangan Astra Internasional
- 2000 : Presiden Komisaris PT Semesta Citra Motorindo
- 2000 : Komisaris PT Agrakom
- 1999 : Presiden Komisaris PT Astra Agro Lestari
- 1998 : Staf Ahli Departemen Keuangan Republik Indonesia
- 1998 : Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional
- 1995 : Komisaris PT Astra Agro Lestari
- 1995 : Komisaris Bursa Efek Jakarta
- 1993 : Wakil Presiden Komisaris PT United Tractors
- 1990 : Komisaris Bank Universal
- 1989 : General Manager Finance Division, PT Astra International
Oleh:
Heriyono Nayottama*
*Pemimpin Redaksi Eksplorasi.id dan Moneter.id