Eksplorasi.id – Skandal megaproyek PLTGU Jawa 1 masih terus berlanjut. Namun, kabar terakhir berhembus bahwa konsorsium Pertamina dan PLN telah mendekati kesepahaman.
Keduanya dikabarkan dan dalam waktu dekat akan segera meneken perjanjian jual beli (power purchase agreement/ PPA) PLTGU Jawa 1.
Fahmy Radhi, pemerhati energi dari UGM, mengatakan, kabar positif ini perlu dicermati lebih lanjut, apakah hanya sekedar kabar angin atau memang benar.
“PLTGU Jawa 1 ini megaproyek yang strategis. Kepentingan nasional sangat besar di megaproyek ini. Jangan sampai isu positif ini hanya bagian dari usaha PLN untuk menjaga citra di depan publik,” kata dia di Jakarta, Rabu (18/1).
Dia menjelaskan, jika dicermati, isu yang berkembang di publik saat ini terkait PLTGU Jawa 1 ada dua penyebab utama kekisruhan yang berakar dari masalah bankability dan isu teknis komersial yang tidak kunjung disepakati, meskipun sudah melewati tenggat waktu.
“Hal ini bukan masalah sederhana. Pasti terdapat konsekuensi keekonomian yang sangat signifikan. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kedua pihak akhirnya bersepakat atau ada salah satu yang berkorban?” jelas dia.
Fahmy menganalisa, mengingat kuatnya keinginan PLN untuk membatalkan tender ini, maka patut diduga bahwa yang berkorban adalah pihak konsorsium Pertamina.
“Dengan perkataan lain, kabar baik ini dapat dijadikan indikasi bahwa Pertamina dan konsorsiumnya telah bersedia menelan semua ongkos akibat terjadinya komplikasi isu teknis komersial ini,” ujar dia.
Komentar Fahmy, apabila indikasi tersebut benar, maka salut kepada Pertamina dan kepemimpinannya dalam mengelola para mitra, sehingga mampu menjaga komitmennya untuk tetap memperjuangkan agar megaproyek PLTGU Jawa1 tetap bisa berjalan dan terjamin keberlanjutannya
“Semua faktor kompleksitas kegagalan megaproyek itu, terutama masalah teknis komersial, lebih disebabkan cerobohnya PLN dan procurement agent-nya dalam meyiapkan dokumen tender yang memenuhi semangat berbisnis yang sehat, profesional dan berimbang (fair),” ujar dia.
Dia menambahkan, PLN dan pihak konsultan, yakni PT Ernst and Young (EY) Indonesia, telah ceroboh dalam hal penyiapan tender yang mengakibatkan bankability issue dan tidak adanya suplai gas.
“Suplai gas yang harusnya menjadi tanggungjawab pengembang, tiba-tiba dipisah menjadi PLN yang mensuplai atas saran EY. Ternyata PLN tidak sanggup mengadakan LNG-nya,” katanya.
Pengambilalihan suplai gas, lanjut dia, awalnya mungkin PLN bisa memeroleh keuntungan dari bisnis gas. “Namun, PLN lupa bahwa sesungguhnya mereka tidak punya kompetensi di bidang bisnis gas,” katanya.
Reporter : Samsul