Eksplorasi.id – Pemerintah di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu segera membenahi tata kelola gas, jika ingin harga gas di kalangan industri berada di level USD 6 per MMBtu.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha dalam diskusi sektor gas di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (9/10).
Menurut dia, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar harga gas untuk industri bisa efisien.
“Tata kelola gas di dalam negeri bermasalah sejak di sektor hulu hingga ke hilir. Kalau mau harga gas di end user USD 6 per MMBtu, persoalan di hulu, midstream, dan downstream harus segera dibenahi semua,” tegas dia.
Satya menjelaskan, selain itu pemerintah juga harus mengubah paradigma soal gas bumi.
Dia mencontohkan, saat ini gas diperlakukan sebagai komoditas, dengan cara jor-joran diekspor ke luar negeri untuk penerimaan negara.
“Ini harus dirombak. Gas tidak boleh lagi digunakan sebagai sumber pendapatan negara, tapi harus menjadi pendorong perekonomian di dalam negeri,” jelas dia.
Dia menambahkan, untuk membenahi sektor gas juga diperlukan kesepahaman bersama, di mana semua kementerian dan lembaga pemerintah harus satu suara.
“Misal, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) jangan lagi memakai gas sebagai salah satu tolok ukur kinerjanya (quality performance index/QPI). Mereka (Kemenkeu) harus mau mengorbankan pendapatan bagian negara dari gas agar harga bisa turun,” ujar dia.
Satya berkomentar, setiap keputusan yang dikeluarkan presiden harus dipahami semua kementerian. Dia menegaskan, Kemenkeu jangan hanya melihat bahwa revenue (pendapatan) negara akan berkurang jika tidak diekspor.
Kemudian, imbuh dia, Kementerian ESDM harus menggenjot pembangunan infrastruktur gas di dalam negeri. Tujuannya, agar kekayaan gas bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan domestik.
“Infrastruktur penyaluran seperti pipa, FSRU, land base Terminal Receiving LNG, dan sebagainya harus terbangun di sekitar industri yang membutuhkan gas. Sekarang masalahnya gasnya ada, permintaan ada, tapi tidak sampai ke lokasi karena infrastrukturnya tidak ada,” ungkap dia.
Menurut Satya, semua pihak di dalam negeri sejatinya tidak menghendaki dilakukan ekspor gas kalau kebutuhan domestik tidak terpenuhi. Namun persoalannya, lanjut dia, jika infrastruktur lemah, maka mau tidak mau gas harus diekspor.
“Lainnya, pemerintah mesti memangkas rantai pasokan gas yang terlalu panjang karena banyaknya trader. Ada banyak perusahaan trader gas di Indonesia, tapi hampir semuanya tak punya infrastruktur untuk penyaluran, hanya bertindak sebagai calo pemburu rente saja tanpa modal,” katanya.
Satya menerangkan, para trader gas tersebut memeroleh alokasi gas dari hulu kemudian menjualnya ke trader lain karena tak punya pipa untuk menyalurkan gas, hingga ke pembeli akhir.
“Trader ini membuat rantai pasokan gas menjadi panjang, harga gas di Indonesia menjadi tidak efisien. Hampir seluruh industri membeli gas lewat trader. Jadi jangan heran jika gas di hulu USD 5 per MMBtu namun ketika di industri harganya bengkak jadi USD 9,5 per MMBtu. Seharunya di hilirnya, tidak boleh ada multi trader,” terang dia.ya.
Reporter : Ponco Sulaksono