Eksplorasi.id – Harga minyak mentah tambah memanas seiring dengan kesepakatan pembatasan suplai antar negara produsen untuk pertama kalinya sejak 2001. Harga diperkirakan mencapai rerata US$55 per barel pada semester I/2017.
Di perdagangan Senin (12/12) pukul 16:58 WIB harga minyak WTI kontrak Januari 2017 berada di posisi US$53,89 per barel, naik 2,39 poin atau 4,64%. Sementara minyak Brent kontrak Februari 2017 bertengger di US$56,73 per barel, meningkat 2,4 poin atau 4,42%.
Dalam rapat OPEC di Wina, Austria, pada 30 November, organisasi memutuskan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari menjadi 32,5 juta barel per hari mulai awal 2017. Pasar menyambut baik rencana ini sehingga melejitkan harga.
Arab Saudi memotong sekitar 486.000 barel per hari sebagai upaya mengakhiri surplus pasar. Pada Oktober 2016, pentolan OPEC itu menghasilkan 10,63 juta barel per hari.
Selanjutnya pada 10 Desember, anggota OPEC dan negara produsen minyak non anggota mencapai kesepakatan menahan suplai untuk pertama kalinya sejak 2001. Pengurangan produksi ini bertujuan mengendalikan kelebihan pasokan di pasar sekaligus menstabilkan harga minyak.
Para produsen non OPEC sepakat memangkas suplai baru hingga 558.000 barel per hari. Sebelumnya, OPEC menginginkan agar negara non anggota bisa memotong hingga 600.000 barel per hari.
Goldman Sachs Group Inc., dalam risetnya menjelaskan penandatanganan kesepakatan setelah proses perdebatan hampir setahun antara OPEC dan negara non anggota seperti Rusia berhasil mengerek harga. Kini, pasar akan berfokus kepada kepatuhan terhadap perjanjian tersebut. “Kami percaya tindakan OPEC dan non OPEC memangkas produksi diperlukan untuk mendukung kenaikan harga minyak secara berkelanjutan,” ujar Goldman seperti dikutip dari Reuters, Senin (12/12).
Goldman mengestimasi bila kesepakatan terealisasi, maka harga minyak WTI mencapai US$55 per barel pada semester I/2017. Perkiraan ini mencerminkan adanya pemotongan produksi sebesar 1 juta–1,6 juta barel per hari secara global.
Sebetulnya, harga bisa saja menembus level US$60 per barel. Namun, masih ada proyeksi tingginya harga dapat menggodan negara produsen untuk kembali memacu suplai, khususnya Amerika Serikat.
Sumber : Reuters