Eksplorasi.id – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) secara tegas menolak bila Nicke Widyawati diangkat menjadi direktur utama (dirut) definitif PT Pertamina (Persero).
Presiden FSPPB Arie Gumilar mengatakan, selain menolak Nicke, pihaknya pun menolak rencana pengangkatan mantan Direktur SDM PT Jasa Marga (Persero) Tbk Koeswiranto Kushartanto sebagai direktur SDM Pertamina.
“Penunjukan direksi ini patut diduga sarat dengan kepentingan politik dan tidak mengedepankan kepentingan Pertamina sebagai perusahaan strategis bidang migas yang menguasai hajat hidup orang banyak,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Eksplorasi.id, Selasa (28/8) malam.
Penegasan Arie, jika benar kedua nama tersebut ditetapkan menjadi bagian direksi Pertamina, artinya suara pekerja melalui FSPPB sama sekali tidak dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
“Kami (FSPPB) tidak akan tinggal diam membiarkan Pertamina menuju kehancuran. Bila dipandang perlu kami akan lakukan aksi industrial mogok kerja,” tegas dia.
Komentar Arie, pihaknya akan meminta Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali penunjukan Nicke Widyawati sebagai dirut Pertamina dan Koeswiranto Kushartanto sebagai direktur SDM Pertamina
Terpisah, Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (SPKP) meminta Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno tidak mengulang kesalahan ketiga kalinya dalam hal penunjukan dirut Pertamina.
“Pertamina pernah gagal ketika dipimpin orang dari luar yang tidak paham bisnis migas, yakni saat dipimpin Dwi Sutjipto dan Ellia Masa Manik,” jelas Ketua Umum SPKP Binsar Effendi Hutabarat.
Penjelasan dia, posisi Nicke Widyawati sangat ‘rawan’. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut kasus korupsi PLTU Riau 1 yang saat ini telah menetapkan tiga tersangka.
Mereka adalah Eni Maulani Saragih (wakil ketua Komisi VII DPR), Johanes Budisutrisno Kotjo (pemilik Blackgold Natural Insurance Limited), dan Idrus Marham (mantan menteri Sosial).
“Apalagi saat peristiwa terjadi Nicke Widyawati menjadi salah satu direktur di PT PLN (Persero). Tidak menutup kemungkinan nama Nicke bisa saja tersangkut kasus tersebut,” ujar Binsar.
Sekedar informasi, Nicke pernah duduk sebagai direktur Perencanaan Korporat dan direktur Pengadaan Strategis 1 di PLN dalam kurun 2014-2017.
Korupsi PLTU Riau 1
Di sisi lain, saat ini KPK masih terus memerlukan keterangan Dirut PLN Sofyan Basir. Sofyan akan digali keterangannya dalam waktu dekat untuk tersangka baru dalam kasus suap PLTU Riau 1, Idrus Marham.
“Tentu dibutuhkan (keterangan Sofyan Basir) untuk tersangka IM (Idrus Marham), tentu akan kami lakukan pemanggilan, tetapi kapan waktunya, nanti kami informasikan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (28/8), seperti dilansir Liputan6.com.
Febri mengatakan, nantinya penyidik KPK akan mendalami soal peran Sofyan Basir dalam kapasitasnya sebagai jajaran direksi di PLN. Menurut Febri, PLN tak bisa dipisahkan dari proyek senilai USD 900 juta itu.
Selain akan menelisik peran Sofyan Basir di PLN, penyidik KPK juga akan mendalami soal pertemuan yang dilakukan Sofyan Basir dengan Idrus, dan dua tersangka lain yakni Eni Saragih dan Johanes B Kotjo. Pertemuan yang dilakukan Sofyan Basir dengan para tersangka terekam dalam CCTV yang sudah disita penyidik KPK.
Idrus disebut berperan sebagai pihak yang membantu meloloskan Blackgold untuk menggarap proyek PLTU Riau 1. Mantan sekjen Golkar itu dijanjikan uang USD 1,5 juta oleh Johanes jika Johanes berhasil menggarap proyek senilai USD 900 juta itu.
Proyek PLTU Riau 1 masuk dalam proyek 35 ribu megawatt (MW) yang rencananya bakal digarap Blackgold, PT Samantaka Batubara, PT Pembangkit Jawa-Bali, PT PLN Batubara dan China Huadian Engineering Co Ltd.
KPK sudah memeriksa sejumlah saksi dalam kasus dugaan suap ini. Sebut saja Sofyan Basir, serta Dirut PT Pembangkitan Jawa-Bali Investasi Gunawan Y Hariyanto, Dirut PT Pembangunan Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara, dan Dirut PT Samantaka Batubara Rudi Herlambang.
Pemeriksaan terhadap mereka untuk mendalami kongkalikong PJB dengan petinggi PLN terkait penunjukan langsung perusahaan Blackgold, Samantaka, PJB, PLN Batubara dan China Huadian menjadi satu konsorsium yang menggarap proyek tersebut.
Apalagi, dari balik jeruji besi, Eni Saragih sempat mengungkap peran Sofyan Basir dan Kotjo sampai PJB menguasai 51 persen asset. Nilai aset itu memungkinkan PJB menunjuk langsung Blackgold sebagai mitranya.
Pada Januari 2018, PJB, PLN Batu Bara, BlackGold, Samantaka, dan Huadian meneken Letter of Intent (LoI) atau surat perjanjian bisnis yang secara hukum tak mengikat para pihak. LoI diteken untuk mendapatkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) atas PLTU Riau 1.
Keberhasilan Blackgold menerima LoI bukan tanpa masalah. KPK justru menduga ada masalah di balik kerja sama yang akhirnya dituangkan dalam LoI terhadap Blackgold.
Pada Desember 2017, atau sebulan sebelum LoI terbit, KPK menerima laporan penyerahan uang Rp 2 miliar kepada Eni Mulyani Saragih.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan pernah mengatakan, pihaknya menduga uang itu merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek. Uang diberikan oleh Johanes B Kotjo selaku pemegang saham Blackgold kepada Eni.
Berselang dua bulan setelah LoI terjadi, Johanes kembali mengirimkan uang Rp 2 miliar kepada Eni melalui stafnya pada Maret 2018.
Empat bulan berselang, uang kembali dikirim Johanes kepada Eni sebesar Rp 300 juta pada 8 Juni 2018, dan terakhir Rp 500 juta pada 13 Juli 2018.
“Eni diduga berperan memuluskan proyek penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU 1 Riau,” ucap Basaria, dilansir dari Tirto.id pada 17 Juli 2018.
Reporter: HYN