Eksplorasi.id – Batalnya PT Pertamina (Persero) mengakuisisi 30 persen saham LukOil di Blok West Qurna 2 di Irak menimbulkan sejumlah dugaan.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, ada dugaan ‘sesuatu’ yang menjadi penyebab Pertamina batal masuk ke West Qurna 2.
Akibatnya, ‘sesuatu’ itu bisa ditafsirkan banyak oleh para pihak. Ada pihak yang menduga kalau jadi diakuisisi, West Qurna 2 akan membuka borok baru bahwa membeli blok migas lainnya adalah kemahalan.
Ada juga juga berpendapat bahwa ada yang ‘menekan’ direksi untuk membatalkan saja pembelian, dan ada pula yang memaksa supaya dibeli.
Baca juga :
Terkait pihak yang berpendapat bahwa blok itu tidak layak diakuisisi dan sudah betul langkah direksi Pertamina, Yusri mempertanyakan lebih lanjut soal itu.
“MoU sudah dilakukan Pertamina dengan Luk Oil pada Febuari 2015, pada saat West Qurna 2 pada tahap pengembangan produksi tahap pertama sebesar 450 ribu barel per hari (bph) dari target puncak produksi pada akhir 2017 mencapai 1, 2 juta bph,” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Kamis (25/8).
Dan, lanjut dia, blok migas ini bukan virgin area. Artinya sudah banyak data spesifikasi minyaknya mengandung berapa besar sulfurnya atau crude assay lengkap
Sehingga, terang Yusri, kalau sekarang katanya Pertamina mundur karena kandungan sulfurnya mencapai 28 ribu ppm atau 2,8 persen wt versi anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir, jadi lebih aneh dan lucu.
“Mengapa Pertamina melanjuti melakukan due diligence (uji kelayakan) dengan menggunakan PricewaterhouseCoopers (PwC) dan sudah membuang uang jutaan dollar Amerika, jika akhirnya di tengah jalan Pertamina mundur?” tanya dia.
Padahal, hasil due diligence PwC terkait audit finansial dan lainnya, sekitar Oktober 2015, sangat positif. Pertamina ditaksir telah mengeluarkan biaya lumayan besar untuk menggunakan konsultanPWC.
“Tentu menjadi pertanyaan besar untuk apa saat itu Pertamina membuang uang melakukan due diligence baik tim teknisnya beberapa kali ke Irak selama enam bulan dan membayar konsultan PWC,” kata dia.
Baca juga:
Yusri menerangkan, disaat Pertamina melakukan MoU dengan LukOil untuk mengakuisisi 30 persen saham asetnya, status blok tersebut dalam tahap pengembangan produksi, bukan tahap pra ekplorasi.
Artinya sudah banyak data-data crude assay dari hasil eksplorasi puluhan sumur yang menghasilkan minyak. Sehingga dari informasi awal tersebut menjadi pertimbangan Pertamina apakah perlu atau tidak melakukan due diligence lebih detail.
Dia mengharapkan direksi Pertamina harus segera menjelaskan dan dibuka apa pertimbangan telah membuang peluang di Blok West Qurna 2.
Pasalnya, imbuh Yusri, jika sudah dianggap tidak layak karena crude-nya mengandung sulfur tinggi, lalu untuk apa Pertamina membuang uang menugaskan PWC mengaudit laporan keuangannya.
“Kalau selalu ditutupi, tentu memancing kecurigaan publik adanya kongkalikong, dan menunjukan Pertamina tidak tulus melakukan transformasi proses bisnisnya untuk menjadi perusahaan berkelas dunia,” jelas dia.
Terkait soal spesifikasi minyak dari West Qurna 2 yang sama dengan minyak dari ladang migas West Qurna 1, yang sebelumnya sebagian sudah diakuisisi Pertamina, menurut Yusri, ada baiknya manajemen Pertamina bersikap transparan ke publik.
“Saya dapat informasi bahwa minyak dari West Qurna 1 memang dijual Pertamina melalaui ISC (Integrated Supply Chain). Ini harus dijelaskan kenapa dijual,” ujar dia.
Kalau tidak sesuai desain kilang, jelasnya, tentu bisa diolah dengan skema COPD (crude oil processing deal) atau swap produk atau deem COPD. “Menjual adalah opsi terakhir, setelah opsi kesatu dan kedua tidak tidak ekonomis ” jelasnya.
Yusri berkomentar lebih jauh, soal kadar sulfur yang tinggi, memang faktanya mencari sweet crude semakin lama semakin sulit. Saat ini yang banyak beredar di pasar global adalah minyak jenis sour crude.
“Jawabannya adalah itulah pentingnya teknologi, sehingga tujuan Pertamina dalam proyek RDMP (Refining Development Masterplan Program) adalah meningkatkan kapasitas produksi kilang dan peningkatan kualitas hasil produksinya, termasuk mampu mengolah minyak jenis sour crude.
Dia mencontohkan Kilang Cilacap yang terdiri dari Fuel Oil Complex (FOC) 1 didesain untuk mengolah crude dari Arab, sedangkan FOC 2 mengolah crude dari non-Arab.
Baca juga :
Yusri menambahkan, faktanya jenis crude West Qurna 2 tersebut bisa diolah di kilang India, Korea, Taiwan, Singapura, Cina, dan lainnya. “Kalau di Eropa hampir semua kilang bisa, karena sudah di upgrade supaya bisa mengolah heavy atau sour crude karena harganya murah,” ujar dia.
Yusri berpendapat, Pertamina sangat telat meng-upgrade kilang milik perseroan. Dia kembali mencontohkan, kilang di Rumania, Bulgaria dan beberapa negara Eropa Timur sudah di-upgrade sejak beberapa tahun lalu.
“Sementara Pertamina rencana sejak 2005-2006 tidak berjalan sama sekali, cuma teken MoU doang. Mungkin ini yang jadi penyebab Pak Luhut selaku menko Kemaritiman dan Plt menteri ESDM marah. Mungkin dia membawa pesan Jokowi, kok sudah hampir dua tahun belum ada tanda-tanda keseriusan,” ujarnya.
Penjelasan Yusri, kunci dalam menghadapi kebutuhan energi di masa depan, termasuk makin sulitnya memperoleh sweet crude, adalah pengembangan teknologi kilang, termasuk memanfaatkan energi baru terbarukan, utk menghadapi semakin menipisnya energi fosil.
“Termasuk tehnologi kilang yang bisa mengolah sour crude, sehingga cara berpikir kita tidak sesat dan berpikir gampang jika lapangan itu sour crude harus ditinggalin. Kenyataannya semua produksi dari resorvoir Irak tetap ditingkatkan produksinya dan habis diserap dipasar,” jelas dia,
Yusri menyarankan, agar tidak membingungkan publik, semestinya Pertamina sejak awal terbuka ke publik soal spesifikasi teknis minyak atau crude assay masing-masing blok migas yang dibeli sahamnya di luar negeri, seperti blok migas di Aljazair, Libia , Irak dan Malaysia. “Informasi itu bukan barang haram untuk diketahui publik bagi sebuah perusahaan milik negara,” tegas dia.
Kemudian, sehubungan dugaan bahwa upaya pembelihan saham tersebut karena adanya tekanan terhadap Pertamina, Yusri menyarankan kepada Inas Zubir sebagai anggota dewan yang mempunyai kewajiban dan tugas pengawasan, sebaiknya informasi tersebut dilaporkan segera ke KPK untuk dilakukan penyidikan dan penyidikan. “Sehingga jangan terkesan dugaan itu hanya pepesan kosong saja,” ujarnya.