Eksplorasi.id – Kebijakan penggunaan bahan bakar nabati jenis biodiesel 20 persen (B20) atau solar dicampur 20 persen bahan bakar minyak kelapa sawit yang berlaku per 1 September 2018 untuk seluruh kendaraan menimbulkan polemik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera turun tangan untuk menyelidiki subsidi yang diberikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kepada lima konglomerat perusahaan sawit.
Dana subsidi itu dikucurkan BPDPKS terkait hilirisasi industri dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Subsidi yang diperoleh kelima perusahaan sawit tersebut sangat fantastis, nilainya mencapai Rp 7,5 triliun.
Subsidi terkait penjualan produk turunan minyak sawit yang digunakan sebagai campuran solar (fatty acid methyl este/FAME)
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengatakan, subsidi yang mencapai triliunan rupiah itu digelontorkan kepada lima perusahaan sawit skala besar dalam kurun Januari-September 2017.
“KPK juga mesti melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan terlebih dahulu audit kepada pemasok FAME yang sudah terima dana subsidi,” kata dia di Jakarta, Rabu (6/9).
Yusri menjelaskan, audit terkait kapasitas terpasang, sumber minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), produksi rill, 10 persen jadi glyserin, pembayaran pajak, subsidi yang di terima, penjualan, dan lainnya.
Dia menambahkan, pihaknya menentang bila yang melakukan audit adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM.
“Ini seperti jeruk makan jeruk, masalahnya justru ada di Ditjen EBTKE. Mereka adalah regulator. Harus BPK yang melalukan audit apakah ada penyimpangan penggunaan anggaran dana subsidi itu atau tidak. Bandit subsidi sawit mesti disikat,” jelas dia.
Sekedar informasi, lima perusahaan sawit yang memeroleh subsidi triliunan rupiah itu adalah, Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).
Dilansir dari CNNIndonesia.com pada 17 Januari 2018, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun.
Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp 1,32 triliun. Sementara nilai setoran perusahaan lainnya adalah Darmex Agro Group Rp 27,58 miliar, dan Musim Mas dengan setoran Rp 1,11 triliun.
Kemudian, First Resources dengan setoran Rp 86,95 miliar, dan LDC sebesar Rp 100,30 miliar. Terdapat selisih nilai yang relatif besar untuk para konglomerat sawit tersebut.
Sebut saja sebesar Rp 2,84 triliun untuk Wilmar Group, Darmex Rp 887,64 miliar, Musim Mas Rp 421,56 miliar, First Resources Rp 392,61 miliar, dan LDC Rp 309,83 miliar.
Berdasarkan Peraturan Presiden No 24/2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken oleh Presiden Jokowi, diatur tentang penggunaan dana tersebut.
Terkait hal tersebut, kajian soal sawit milik KPK pada 2016 menemukan bahwa penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit.
BPDPKS pada 2015 menyatakan penggunaan dana terbesar masih dialokasikan untuk biodiesel, yakni mencapai 89 persen. Sedangkan untuk peremajaan sawit, pengembangan SDM hingga perencanaan-pengelolaan masing-masing hanya satu persen.
BPDPKS sendiri dibentuk dalam wujud Badan Layanan Umum sejak 11 Juni 2015 di bawah kendali Kementerian Keuangan. Badan tersebut didirikan untuk mendukung program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Reporter: HYN