Eksplorasi.id – Akhirnya pemerintah sepakat merevisi Peraturan Pemerintah No 79/2010 tentang Biaya Operasional yang Dapat Dikembalikan (Cost Recovery) dan Perlakuan Perpajakan Bagi Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, perubahan ini diyakini dapat mendorong investasi di sektor tersebut. Pasalnya, selama ini peraturan tersebut menjadi penghalang majunya investasi di hulu migas. Jika dibiarkan, produksi minyak mentah Indonesia akan susut sampai 480 ribu barel per hari (bph).
“Kegiatan aktivitas hulu migas terus mengalami penurunan terlihat dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia. Tahun 2016 dari 800 ribu bph menjadi 480 ribu bph pada 2020 nantinya,” jelas dia.
Sebelum PP No 79/2010 terbit, Sri mengungkapkan, masih terdapat kebijakan yang dikenal dengan assume and discharge. Dalam kebijakan itu, pemerintah memberikan insentif, yakni dengan mengganti pajak tidak langsung seperti PPN, PBB, bea masuk, pajak daerah dan retribusi daerah yang dibayarkan kontraktor melalui mekanisme reimbusement.
Dan selanjutnya, dengan PP No 79/2010 insentif itu diubah jadi rezim cost recovery, yang artinya pajak tidak langsung itu dibayarkan kontraktor sebagai biaya operasi.
“Perubahan rezim yang tadinya assume and discharge menjadi rezim cost recovery dianggap tidak menarik kontraktor mereka menganggap risk menjadi besar dan minat kegiatan hulu minyak jadi turun,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, saat PP No 79/2010 berlangsung maka kontraktor dihadapkan beban pajak saat eksplorasi karena tidak ada assume and discharge. Padahal, kegiatan eksplorasi memiliki risiko tinggi yang jadi beban permanen.
Dengan direvisinya PP No 79/2010 tersebut, dirinya berharap, keekonomian proyek akan meningkat melalui internal rate of return (IRR) sebesar 2,89 persen. Apalagi, pemberian fasilitas ini pun didukung juga oleh pemberian fasilitas non fiskal berupa investment credit.
“Selama ini kontraktor dihadapkan dengan pajak eksplorasi antara lain PPN dan PBB dengan success rate yang rendah di bawah 40 persen. Beban tersebut dianggap sangat memberatkan kontraktor yang menanggung pajak saat masa eksplorasi tersebut dan apabila gagal berarti dia menjadi biaya permanen,” tukasnya.